Kamis, 23 Februari 2017

Menikah dengan bangsa jin

Menurut keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy, telah terjadi khilaf ulama mengenai hukum manusia kawin dengan bangsa jin. Imam Malik membolehkannya tetapi dengan status makruh dengan alasan supaya perempuan yang hamil karena zina tidak mudah mendakwakan dirinya hamil dengan sebab jin yang dikawininya. Al-Hakam bin ‘Ainah, Qatadah, “Aqbah al-‘Asham dan al-Hujaj bin Arthah juga menghukumkan makruh perkawinan dengan bangsa jin. Jarir telah mentakhrij hadits dari Ahmad dan Ishaq, sesungguhnya Nabi SAW melarang perkawinan dengan bangsa Jin. Dengan dasar ini Ishaq memakruhkannya. Tetapi dalam Kitab al-Fatawa al-Sirajiah karangan ulama Hanafiah disebutkan tidak boleh nikah antara manusia, jin dan manusia air, karena berbeda jenis. Pendapat terakhir ini juga merupakan fatwa Syaikh Islam al-Barizy salah seorang ulama dari kalangan Syafi’iyah. Alasan yang beliau kemukakan adalah karena Allah telah menganugerahkan jenis kita sebagai suami atau isteri, kalau boleh nikah dengan bangsa jin , maka sungguh tidak terjadi ketentuan Allah itu. [1]
Berkata Zainuddin al- Malibary :
Tidak sah nikah dengan bangsa jin dan juga sebaliknya berdasarkan pendapat kebanyakan Mutaakhiriin. [2]

Imam As-Suyuthi dalam Kitabnya As-Asybah wa an-Nadha-ir [3] mengharamkan nikah dengan bangsa jin berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
1.       Sebuah pernikahan harus dilaksanakan dengan jenis manusia sehingga diharapkan dengan pernikahan menjadikan seseorang tenteram dan terjalin cinta dan kasih sayang, berdasarkan firman Allah Qur’an Surat an-Nahl : 72
 وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
Artinya : Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri (Q. S. an-Nahl : 72)

Dan firman Allah Qur’an Surat ar-Rum : 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S. Ar-Ruum: 21)

2.      Hadits riwayat Harb al-Karmany dalam Masailnya dari Ahmad dan Ishaq, berkata Rasulullah SAW :
ﻨﻬﻰ  ﺭﺴﻭﻝ ﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻌﻡ ﻋﻥﻨﻜﺎﺡ ﺍﻠﺠﻥ
Artinya : Rasulullah SAW melarang nikah dengan bangsa jin

Hadits ini meskipun mursal namun maksud hadits tersebut disokong(‘azhid) oleh banyak qaul ulama, diantaranya Hasan Basri, Qutadah, Hakam bin ‘Aiiyinah, Ishaq bin Rahawih.
3.      Nikah disyari’atkan untuk saling mengasihi, ketenteraman hati dan saling menyayangi. Hal tersebut tidak terdapat pada perkawinan dengan jin, bahkan yang ada lawannya, rasa permusuhan yang tidak hilang-hilang.
4.      Firman Allah Qur’an Surat An-Nisa’ : 3
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita yang baik bagi kamu (Q.S. An-Nisa’ : 3)
ÏPerkataan “al-nisa’” adalah nama khusus bagi perempuan Bani Adam. Maka jenis yang lainnya  masuk dalam katagori haram karena beramal dengan kaidah :

 أﻷﺼﻝ ﻔﻲﺍﺒﻀﺎﻉ ﺍﻠﺤﺭﻤﺔ ﺤﺘﻰ ﻴﺭﺩ ﺩﻠﻴﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺤﻝ
Artinya : Asal pada pernikahan adalah haram kecuali datang dalil yang menunjukkan kepada halal

5.      Dalam Islam, diharamkan nikah dengan hamba sahaya karena menghasilkan dharar pada keturunannya, yaitu keturunannya menjadi hamba sahaya. Kawin dengan bangsa jin dhararnya lebih besar.
Dalam Kitab Luqth al-Marjan fi ahkam al-Jan disebutkan sebuah hadits diriwayat dari al-Zuhry, yaitu :
نهى رسول الله صلعم عن نكاح الجن
Artinya : Rasulullah SW melarang menikah dengan jin.[4]

Kesimpulan
  1. haram dan tidak sah nikah manusia dengan bangsa jin, karena berbeda jenis. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama Syafi’iyah
  2. sebagian ulama berpendapat makruh, antara lain imam Malik dan sebagian ulama Hanafiyah.



[1]. Ibnu Hajar al-Haitamy, Fatawa Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 50
[2] .Zainuddin al- Malibary , Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz III, Hal. 296
[3] . As-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadhair, al-Haramain, Indonesia, Hal. 162
[4] As-Suyuthi, Luqth al-Marjan fi ahkam al-Jan, Maktabah al-Qur’an, Kairo, Hal. 33