Selasa, 08 September 2015

Perbedaan mazhab Asy’ari dan al-Maturidy (bag. 1)



Berikut ini adalah tulisan yang kami rangkum dari kitab Syarah Risalah Masail al-Ikhtilaf baina al-Asy’arah wal- Maturidiyah karangan Ibnu al-Kamal Pasya (873-940 H) dengan syarahnya oleh Said Fudah (Penerbit : Dar al-Fatah). Dalam muqaddimah syarah kitab tersebut dijelaskan, bahwa Ibnu al-Kamal Pasya seorang ulama terkenal pada zaman Daulah Usmaniyah Turki. Beliau hidup semasa dengan Imam al-Suyuthi.
Adapun perbedaan mazhab Asy’ari dan al-Maturidy berdasarkan tulisan di atas antara lain:
1.        Masalah sifat Takwin
a.       Imam al-Maturidi mengatakan, al-takwin adalah sifat Allah yang azali dan berdiri pada zat-Nya sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain. Al-Takwin bukan al-mukawwan (yang dijadikan). Al-Takwin ta’alluq dengan al-mukawwan, yakni alam dan bagian-bagiannya pada waktu wujudnya. Ini sebagaimana iradah dan qudrah Allah Ta’ala yang azali ta’alluq dengan yang diiradah-Nya dan dan maqdurat-Nya. Menurut al-Maturidi al-Takwin bukanlah sifat af’al (perbuatan), tetapi sifat zat yang bersumber perbuatan darinya. Bukan sifat af’al, karena disepakati (al-Asya’ri dan al-Maturidy) bahwa sifat af’al adalah baharu, sedangkan Allah mustahil bersifat dengan sifat baharu.
b.      Imam al-Asy’ari mengatakan, al-Takwin adalah sifat yang baharu yang tidak berdiri pada zat Allah Ta’ala. Menurut al-Asy’ari al-Takwin adalah sifat af’al (perbuatan), bukan sifat  zat yang azali. Sifat af’al adalah baharu seperti takwin dan iijad, yang ta’alluq kepada wujud alam dengan firman Allah, “kun”. Menjadikan dan meniadakan sesuatu pada waktu ada dan tidak ada sesuatu (tanjizi hadits) merupakan hukum qudrah menurut al-Asy’ari dan merupakan hukum al-Takwin menurut al-Maturidy.
Alhasil terjadi khilaf pada dua ta’alluq, yakni shuluhil qadim dan tanjizi hadits, apakah keduanya kembali kepada satu sifat, yakni qudrah ataukah kembali kepada dua sifat, yakni shuluhil qadim kembali kepada qudrah dan tanjizi hadits kembali kepada al-takwin. Al-Asya’ri berpendapat kepada pendapat pertama, sedangkan al-Maturidy berpendapat kepada pendapat kedua.

2.        Masalah mendengar kalam Allah
a.    Imam al-Maturidi mengatakan, kalam Allah Ta’ala tidak dapat didengar, yang didengar hanya sesuatu yang menunjuki atasnya.
b.    Imam al-Asy’ari mengatakan, kalam Allah Ta’ala dapat didengar sebagaimana hikayah Allah dari Nabi Musa.
Sepakat Imam al-Maturidi dan Imam al-Asy’ari bahwa Allah Ta’ala bersifat dengan kalam nafsi, yakni kalam yang tidak berhuruf dan suara. Perbedaan muncul ketika membicarakan apakah kalam Allah itu dapat didengar atau tidak. Imam al-Maturidi tidak memaknai secara mutlaq al-masmu’ (yang didengar) kecuali dengan syarat bersambung dengan indra pendengaran dimana manusia bersifat dengannya. Menurut beliau, yang dapat bersambung dengan indra pendengaran manusia hanya suara, sedangkan kalam Allah Ta’ala diyakini tidak berhuruf dan tidak bersuara. Adapun yang dapat didengar hanyalah suara yang menunjuki kepada kalam Allah Ta’ala yang qadim yang tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Adapun Imam al-Asya’ri tidak mensyaratkan penyebutan lafazh al-masmu’ (yang didengar) secara mutlaq adanya keharusan bersambung diri al-masmu’ dengan indra pendengaran, tetapi bisa saja dengan bersambung dengan yang menunjuki kepada al-masmu’ atau dengan idrak (alat menangkap al-masmu’) yang lain yang diciptakan Allah dengan tanpa perantara dan sebab-sebab ‘adat.
Al-hasil Imam al-Maturidi dan Imam al-Asy’ari sepakat bahwa indra pendengaran manusia tidak mungkin bersambung dengan kalam Allah. Perbedaannya Imam al-Maturidi tidak menggunakan lafazh al-masmu’ terhadap yang didengar dengan perantaran suara yang menunjuki kepada al-masmu’ atau terhadap idrak (alat penangkapan) yang lain yang diciptakan Allah dengan tanpa perantara dan sebab-sebab ‘adat. Sedangkan Imam al-Asy’ari berpendapat kalam Allah Ta’ala bisa dikatakan al-masmu’ , meski dengan perantaran suara yang menunjuki kepada al-masmu’ atau terhadap idrak yang lain yang diciptakan Allah dengan tanpa perantara dan sebab-sebab ‘adat. Dengan demikian, ini adalah khilaf penamaannya saja (khilaf lafzhi).

3.        Masalah Allah Ta’ala bersifat dengan sifat hikmah
a.    Imam al-Maturidi berpendapat bahwa Allah sebagai pencipta alam ini bersifat dengan sifat hikmah, baik hikmah itu bermakna ilmu atau bermakna al-ihkaam (menjadikan hikmah)
b.    Imam al-Asy’ari mengatakan, seandainya hikmah bermakna ilmu, maka itu kembali kepada sifat ilmu. Sedangkan ilmu disepakati merupakan sifat Allah yang qadim yang berdiri pada zat Allah Ta’ala. Namum seandainya hikmah itu bermakna al-ihkaam, maka itu sifat baharu,  yang kembali kepada sifat takwin. Sedangkan sifat takwin adalah sifat baharu yang tidak berdiri pada zat Allah Ta’ala.
Perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan dua imam ini, apakah Allah bersifat dengan takwin atau tidak, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya dan apakah dinamakan Allah dengan dengan nama al-hakim adalah majaz atau hakikat. Al-Maturidi yang berpendapat Allah bersifat dengan sifat takwin, mengatakan al-hikmah adalah lazim dari sifat takwin. Karena itu, kalau sifat takwin qadim, maka hikmah juga qadim dan pula penamaan Allah dengan sifat al-hakim adalah hakikat pada lughat menurut al-Maturidi. Sedangkan isytiqaq (akar kata) dari al-hakim adalah hikmah, maka sahlah diitsbat hikmah kepada Allah Ta’ala.
Adapun Imam al-Asy’ari mengatakan, seandainya hikmah itu bermakna al-ihkaam, maka ini kembali kepada af’al Allah Ta’ala. Dengan demikian, al-hikmah adalah sifat af’al, bukan sifat zat sebagaimana sifat takwin yang baharu dan tidak berdiri pada zat Allah Ta’ala yang qadim. 

Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 2)