Senin, 23 Februari 2015

Ini Ajaran Salek Buta Juga (bag.2)

2.        Sebagian kaum Salek Buta mempunyai ajaran nikah batin, yaitu nikah tanpa wali dan saksi sebagaimana lazimnya sebuah pernikahan menurut syari’at. Mereka mengatakan, walinya adalah Allah Ta’ala dan saksinya para malaikat.

Bantahan
Menurut hemat kami, ajaran nikah batin ini merupakan turunan dari ajaran kaum al-Bathiniyah dari kelompok Syi’ah Isma’iliyah. Kaum al-Bathiniyah merupakan kelompok ajaran yang tidak mau menggunakan nash-nash syara’ secara dhahir. Mereka menakwilkan dhahir semua perintah Allah dan Nabi-Nya kepada makna yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, yang pada ujungnya menghilangkan semua perintah dan larangan syara’. Ibnu Abdurrahman al-Multhi (w. 377 H) menyebut dalam kitabnya, al-Tanbih wal Rad ‘ala Ahlul Ahwa wal bid’i sebagai berikut :
”Termasuk dari golongan Rafidhah (Syi’ah) adalah golongan yang mendakwa bahwa nikah mut’ah adalah halal, nikah tanpa wali dan saksi serta tidak ada mahar. Mereka mengatakan, Allah walinya, para malaikat saksinya dan Islam adalah maharnya.»[1]

Kami menduga ajaran nikah batin ini mereka ilhami dari dakwaan mengikuti perkawinan Nabi Adam a.s dan Hawa yang dinikahkan oleh Allah SWT sendiri tanpa ikut campur makhluq lain dan mereka juga merujuk kepada riwayat palsu yang mengabarkan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Fatimah pernah dinikahkan oleh Allah secara ghaib. Riwayat yang dinisbah kepada Ibnu Abbas ini berbunyi :  Rasulullah SAW bersabda :
يا علي ان الله زوجك فاطمة وجعل صداقها الارض فمن مشي عليها مبغضا لك مشي حراما
Artinya : Hai Ali, sesungguhnya Allah telah mengawinkanmu dengan Fatimah, sedangkan bumi adalah maharnya. karena itu, barangsiapa yang berjalan di muka bumi dengan marah kepadamu, maka ia berjalan dalam keadaan haram.

Al-Zahabi telah menyebut riwayat ini dalam kitabnya, Talkhis al-Mauzhu’at. Beliau mengatakan, riwayat ini dipalsukan (maudhu’) oleh al-Zaari’.[2] Al-Suyuthi juga telah mengatakan riwayat ini maudhu’.[3] Riwayat senada dengan ini namun lebih detil kisahnya adalah riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Mas’ud. Dalam riwayat ini dikisahkan Allah memerintah Jibril meminang Fatimah untuk Ali sekaligus mengawinkan Ali dengan Fatimah. Riwayat ini juga menurut keterangan al-Suyuthi adalah maudhu’ alias palsu.[4]
Adapun argumentasi mereka ini dapat kita bantah sebagai berikut :
1). Para ulama sepakat bahwa pernikahan tidak boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi, cuma mereka berbeda pendapat apakah pernikahan yang disaksikan hanya dua orang termasuk pernikahan tersembunyi atau tidak. Malik mengatakan pernikahan itu tersembunyi. Karena itu, menurut Malik meskipun pernikahan itu sah, namun wajib di beritahukan kemudian kepada masyarakat seperti dengan mengadakan pesta atau lainnya. Namun apabila kedua belah pihak mewasiatkan menyembunyikan akad pernikahan tersebut, maka nikahnya tidak sah. Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat pernikahan dengan disaksikan dua saksi bukan pernikahan tersembunyi. Karena itu memadai dengan kesaksian dua orang saksi dan tidak wajib diberitahukan kepada masyarakat.[5]  Adapun dalil akad nikah wajib dilaksanakan tidak secara sembunyi-sembunyi dan harus ada saksi adalah berdasarkan riwayat dari Amir bin Abdullah bin al-Zubir dari bapaknya :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : أَعْلِنُوا اَلنِّكَاحَ
Artinya : Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sebarkanlah berita pernikahan. (H.R.Ahmad  dan shahih menurut al-Hakim)[6]

dan hadits dari Aisyah r.a. berbunyi :
أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا نِكَاح إِلَّا ولِي وشاهدي عدل وَمَا كَانَ من نِكَاح عَلَى غير ذَلِك فَهُوَ بَاطِل فَإِن تشاجروا فالسلطان ولي من لَا ولي لَهُ رَوَاهُ ابْن حبَان فِي صَحِيحه وَقَالَ لَا يَصح فِي ذكر الشَّاهِدين غَيره
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Tidak pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian, maka batil. Seandainya mereka berbantahan, maka sulthan yang menjadi wali orang-orang yang tidak mempunyai wali. (H.R. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Beliau mengatakan, tidak ada hadits yang shahih dalam penyebutan dua orang saksi kecuali hadits ini.)[7]

Dan juga riwayat dari Amran bin Hushain r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
Artinya : Tidak pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.

Hadits ini telah diriwayat oleh Ahmad dalam musnadnya, Baihaqi, al-Thabrani, Darulquthni dan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mengatakan, hadits ini meskipun munqathi’, tetapi kebanyakan ahli ilmu berpendapat dengan kandungan hadits tersebut.[8]  Demikian juga disepakati para ulama tidak sah sebuah akad nikah kecuali dengan ada wali berdasarkan hadits-hadits di atas, kecuali dari kalangan Hanafiyah yang tidak mensyaratkankan wali untuk keabsahan nikah.[9] Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa para ulama sepakat sebuah akad nikah tanpa wali dan saksi adalah batal alias tidak sah. Dengan demikian ajaran nikah batin yang dipraktekkan oleh sebagian kaum Salek Buta ini merupakan ajaran sesat menyesatkan yang bertentangan dengan kesepakatan para ulama yang bersumber dari Sunnah Rasul sebagaimana telah dikemukakan di atas.

2). Memang ada sebuah pendapat yang dihikayahkan dari Daud al-Dhahiri yang membenarkan akad nikah tanpa wali dan saksi. Seandainya hikayah ini benar, maka para ulama telah sepakat bahwa pendapat Daud al-Dhahiri ini merupakan pendapat syaz (ganjil) dan dianggap sudah tergelincir dari kebenaran. Karena itu, pendapat ini tidak boleh diamalkan oleh kaum muslimin dan pendapat ini juga tidak menjadi timbangan yang dapat merusak kesepakatan ulama di atas. Berikut ini penjelasan ulama berkenaan dengan pendapat Daud al-Dhahiri di atas, yakni sebagai berikut :
a. Dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
لايجوز تقليد داود فى النكاح بلا ولى ولاشهود، ومن وطئ فى نكاح خال عنهما وجب عليه حدّ الزنا على المنقول المعتمد
“Tidak boleh mengikuti pendapat Dawud al-Dhahiri dalam nikah tanpa wali dan saksi, barang siapa berhubungan badan atas nikah tanpa wali dan saksi, wajib baginya di had (hukuman) seperti hukuman bagi pelaku zina sesuai pendapat yang mu'tamad.[10]

Setelah itu, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
فَلَوْ فُرِضَ أَنَّ دَاوُد قَائِلٌ بِحِلِّ ذلك لم يُلْتَفَتُ إلَيْهِ على أَنَّ كَثِيرِينَ من أَصْحَابِنَا مَنَعُوا من تَقْلِيدِهِ كَسَائِرِ الظَّاهِرِيَّةِ لِأَنَّهُمْ لِإِنْكَارِهِمْ الْقِيَاسَ الْجَلِيَّ يَرْتَكِبُونَ السَّفْسَافَ من الْآرَاءِ فلم يُعْتَدَّ بِآرَائِهِمْ
Artinya : Seandainya ditaqdirkan bahwa Daud berpendapat dengan demikian itu (boleh nikah tanpa wali dan saksi), maka tidak boleh memperhatikannya karena kebanyakan ashab kita melarang taqlidnya sebagaimana halnya golongan Dhahiriyah lainnya, karena mereka mengingkari qiyas jalii (qiyas yang terang) dan mereka dihinggapi pikiran yang buruk, sehingga tidak diperhitungkan pendapat mereka.[11]

b. Imam Haramain mengatakan :
ان المحققين لا يقيمون لخلاف اهل الظاهر وزنا
Artinya : Sesungguhnya ulama muhaqqiq tidak menjadi timbangan bagi khilaf Ahlu Dhahir.[12]

3).  Adapun hadits yang menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib dan Fatimah pernah dinikahkan oleh Allah secara ghaib adalah hadits yang diada-adakan oleh kaum Bathiniyah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Jadi tidak perlu dikomentari lagi, karena hadits palsu jangankan untuk diamalkan, untuk diriwayatkan saja haram hukumnya kecuali diriwayat untuk menjelaskan kepalsuannya.

4). Adapun penyandaran kaum Salek Buta kepada perkawinan Nabi Adam a.s dan Hawa yang dinikahkan oleh Allah SWT sendiri tanpa ikut campur makhluq lain, maka  apabila ini benar dapat dijawab sebagai berikut :
a. Telah terjadi khilaf ulama dalam hal syari’at sebelum Nabi Muhammad SAW (syara’ man qablana) untuk diikuti oleh umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW. Khilafiyah ini merujuk kepada khilafiyah apakah  Nabi Muhammad SAW ber’ubudiyah sesudah kenabian dengan syari’at sebelumnya (syara’ man qablana) atau tidak. Dalam hal ini, para ulama terbagi dalam empat pendapat sebagaimana telah disebut oleh Zarkasyi dalam kitab al-Bahr al-Muhith, yakni pertama tidak mengamalkannya (berta’abbud), bahkan terlarang mengamalkannya, Kedua mengamalkannya kecuali yang telah dinasakh oleh syari’at Nabi Muhammad SAW, Ketiga tidak mengamalkannya, baik perintah maupun larangan, Keempat tawaquf (tidak berpendapat mengamalkannya atau tidak).[13]

b. Perkawinan Adam a.s dan Hawa merupakan syari’at sebelum Nabi Muhammad SAW. Karena itu, untuk pengamalannya apabila merujuk kepada pendapat ulama di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
a). Apabila kita berpegang kepada pendapat pertama dan ketiga, maka sudah jelas bahwa syari’at Nabi Adam a.s. ini tidak boleh kita ikuti. Karena Nabi Muhammad SAW sendiri yang menjadi ikutan kita, beliau tidak pernah ber’ubudiyah dengan syari’at sebelumnya.
b). Apabila kita berpegang dengan pendapat keempat, maka tentu kebolehan beramal dengan syari’at Nabi Adam a.s. perlu keterangan yang membolehkan mengamalkannya. Padahal sebagaimana dimaklumi berdasarkan hadits-hadits di atas, umat Islam wajib melakukan akad nikah dengan cara tidak sembunyi-sembunyi.
c). Apabila kita berpegang dengan pendapat ketiga, maka akad nikah model Nabi Adam a.s ini sudah dinyatakan mansukh oleh syaria’at kita sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi SAW di atas.

c. Alhasil, dapat disimpulkan bahwa model perkawinan Adam a.s dan Hawa tidak boleh diikuti oleh umat Islam, umat Nabi Muhammad SAW. Maka jelaslah tersesat kaum Salek Buta yang menghalakan nikah batin untuk melampiaskan nafsu syahwat mereka.

5). Apabila mereka mengatakan, nikah batin adalah nikah hakikat yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang sudah sampai maqam hakikat, maka ini kita bantah bahwa hakikat apabila bertentangan syari’at adalah batil dan zindiq. Berikut keterangan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai  hubungan  syari’at dan hakikat, antara lain :
a.       Al-Qurthubi, salah seorang ahli tafsir terkenal dan ulama dari kalangan Ahlussunah wal Jama’ah, mengatakan :
“Mereka mengatakan hukum syari’at ini yang bersifat umum, hanya berlaku atas orang-orang bodoh dan ‘awam. Adapun para aulia dan ahli khusus, mereka ini tidak memerlukan nash-nash itu. Telah datang kutipan perkataan mereka : “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun telah difatwa oleh para mufti”. Mereka berargumentasi untuk ini dengan peristiwa al-Khizhir bahwa al-Khizhir dengan sebab ilmu-ilmu yang tajalli kepadanya tidak membutuhkan pemahaman-pemahaman yang ada pada Musa. Perkataan ini adalah zindiq dan kufur, dibunuh yang mengatakannya dan tidak diminta taubat serta tidak perlu dilakukan soal dan jawab. Karena darinya lazim ini hukum dan mengitsbat nabi sesudah Nabi Muhammad SAW.” [14]

b.      Al-Ghazali, seorang sufi besar dalam sejarah Islam dalam Ihya Ulumuddin berkata :
Barangsiapa yang berkata sesungguhnya hakikat menyalahi syari’at atau bathin bertentangan dengan dhahir, maka dia lebih dekat kepada kufur dibandingkan kepada iman”. [15]

c.     Imam Malik mengatakan :
“Barangsiapa yang bertasauf tanpa berpegang kepada fiqh, maka dia zindiq, barang siapa yang berpegang kepada fiqh tanpa bertasauf, maka sungguh dia fasiq dan  barangsiapa yang mengumpulkan keduanya, maka sungguh dia itu tahqiq (mendapatkan sesuatu yang pasti).”[16]

d.   Syeikh Nawawi al-Bantany al-Jawi mengatakan :
Syari’at tanpa hakikat kosong dan hakikat tanpa syari’at batil”[17]

Dari keterangan empat ulama besar di atas, dengan jelas dan terang benderang dikatakan bahwa anggapan hakikat dan syari’at suatu hal yang bertentangan merupakan i’tiqad batil dan menyesatkan.

Ini Ajaran Salek Buta (bag.1)



[1] Ibnu Abdurrahman al-Multhi, al-Tanbih wal Rad ‘ala Ahlul Ahwa wal bid’i, Maktabah Madbuli, Kairo, Hal. 118
[2] Al-Zahabi, Talkhis al-Mauzhu’at, Maktabah al-Ruyd, Riyazh, Hal. 147
[3] Al-Suyuthi, al-Lala-i al-Masnu’ah Fi Ahadits al-Maudhu’ah, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 396
[4] Al-Suyuthi, al-Lala-i al-Masnu’ah Fi Ahadits al-Maudhu’ah, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 398-399
[5] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Usaha Keluarga, Semarang, Juz II, Hal. 13
[6]. Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulugul Maram, (Tahqiq Samiir bin Amin al-Zahiry), Hal. 296
[7] Ibnu al-Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ‘ala Adallah al-Minhaj, Darul Hira’, Makkah, Hal. 363-364, No. Hadits : 1427
[8] Ibnu al-Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 542.
[9]. Lihat Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha keluarga, Semarang, Juz. II, Hal. 6-9
[10] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 105
[11] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Juz. IV, Hal. 105
[12] Alawi bin Ahmad al-Saqaf ,  al-Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam kitab Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 69
[13] Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, Wazarah l-Auqaf  wa al-Syu-un al-Islamiyah, Kuwait, Juz. VI, Hal. 41-44
[14] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Dar Alim al-Kutub, Riyadh, Juz. VII, Hal. 39
[15] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal.100
[16] Ibnu ‘Ajibah, Iqadh al-Hamam fi Syarh al-Hikam, al-Haramain, Hal. 6
[17] Nawawi al-Bantany al-Jawi, Muraqi al-Ubudiyah, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 4

Senin, 09 Februari 2015

Ahli hadits yang bermazhab Syafi’i (Bag. 9)

18.        Al-Suyuthi (849-911 H)
Nama lengkap beliau adalah Jalaluddin Abdurrahman bin al-Kamal bin Abu Bakar bin Muhammad al-Suyuthi. Lahir pada tahun 849 H dan wafat tahun 911 H. Beliau mengarang kitab mencapai 300 buah yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu seperti hadits, fiqh, tafsir, nahu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan lain-lain. KH Sirajuddin Abbas dalam bukunya, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i telah memasukkan nama beliau sebagai ulama bermazhab Syafi’i.[1] Ayah dari al-Suyuthi merupakan murid dari Ibnu Hajar al-Asqalani.[2]
Diantara karya-karya al-Suyuthi yang pernah sampai kepada kami, antara lain :
1.      Tafsir Al-Jalalain
2.      Al-Hawi lil Fatawa
3.      Al-Asybah Wal-Nadhair
4.      Al-Itqan Fi Ulumul Qur’an
5.      Syarh al-Sudur bi Syarh Hal al-Mautaa Wal-Qubur
6.      Asma-U al-Mudallisiin
7.      Al-Lala-i al-Masnu’ah Fi Ahadits al-Maudhu’ah
8.      Al-Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah
9.      Ta’aqubaat al-Suyuthi ‘ala Maudhu’at Ibnu Al-Jauzi
10.  Manahil al-Shifa Fi Takhrij Ahadits al-Syifa
11.  Qut al-Mughtadzi ‘ala Jami’ al-Turmidzi
12.  Al-Asybah Wal-Nadhair fi al-Nahwi
13.  Khashais al-Kubraa
14.  Al-Tahaduts bi Nikmatillah
15.  Jazil al-Mawahib Fi Ikhtilaf al-Mazahib
16.  Asbab al-Nuzul
17.  Ushul al-Tafsir
18.  Al-Radd ‘ala Man Akhlada Ila al-Ardhi
19.  Al-Amru bil Itba’ wa al-Nahyu ‘an al-Ibtida’
20.  Dan lain-lain

Berdasarkan bacaan dari kitab-kitab beliau, tidak diragukan lagi bahwa al-Suyuthi merupakan salah seorang ulama besar yang bermazhab Syafi’i, meskipun beliau dalam beberapa hal mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama Syafi’iyah, bahkan kadang-kadang beliau mempunyai pendapat yang berbeda dengan imam empunya mazhab, Imam Syafi’i r.a. Hal ini sebenarnya memang sering kita dapati pada ulama-ulama sekelas al-Suyuthi dimana beliau-beliau ini sudah mencapai maqam ijtihad, namun karena masih menggunakan metode ijtihad Imam Syafi’i, maka mereka masih menisbahkan dirinya sebagai pengikut Syafi’i. Dalam kitab al-Radd ‘ala Man Akhlada Ila al-Ardhi, al-Suyuthi mengatakan :
”Yang kami dakwa pada diri kami adalah ijtihad mutlaq, bukan ijtihad istiqlal (mandiri), bahkan kami sendiri mengikuti Imam Syafi’i r.a. dan berjalan pada metodenya pada ijtihad karena menyanjung perintahnya dan kami termasuk dari pengikutnya”[3]

Dalam kitab Tahaduts bi Nikmatillah, al-Suyuthi juga menegaskan beliau sebagai ulama bermazhab Syafi’i. al-Suyuthi mengatakan :
“Manakala aku sampai derajat ijtihad mutlaq, aku tidak keluar dari Mazhab Syafi’i dalam ifta’ sebagaimana halnya al-Qafal, dimana disaat sampai pada derajad ijtihadi, beliau masih mengifta’ dengan Mazhab Syafi’i, bukan dengan pendapat pilihannya. Al-Qafal mengatakan, ”Penanya bertanya kepadaku tentang Mazhab Syafi’i, bukan menurut pendapatku.”. Sedangkan aku (al-Suyuthi) tidak aku pilih sesuatu yang keluar dari Mazhab Syafi’i kecuali sedikit sekali dan sisanya yang aku pilih itu adalah masih dalam mazhab, adakalanya qaul lain al-Syafi’i, baik jadid atau qadim dan adakalanya wajah dalam mazhab bagi ashabnya. Namun semuanya kembali kepada mazhab dan tidak keluar darinya.”[4]

Catatan :
Al-Suyuthi membedakan antara ijtihad mutlaq dengan ijtihad istiqlal. Ijtihad mutlaq adalah ijtihad dalam semua bidang fiqh, baik dengan ijtihad secara mandiri dengan mempunyai metode ijtihad sendiri (istiqlal) maupun dengan taqlid kepada metode ijtihad fiqh para imam mazhab seperti Syafi’i. Sedangkan ijtihad istiqlal adalah ijtihad dalam semua masalah dengan menggunakan metode ijtihad sendiri tanpa taqlid kepada orang lain. Orang yang mencapai derajat ini adalah seperti imam mazhab yang empat. Jadi yang didakwa al-Suyuthi adalah ijtihad mutlaq sebagaimana kutipan diatas, bukan ijtihad istiqlal. Artinya, beliau mencapai derajat kemampuan berijtihad dalam semua bidang fiqh, namun metode ijtihad yang beliau gunakan tetap bertaqlid kepada metode Imam Syafi’i.[5]
Salah seorang guru al-Suyuthi adalah al-Muhaddits Waliuddin al-Iraqi.[6]











[1] KH Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Pustka Tarbiyah, Jakarta, Hal. 157-158
[2] Al-Suyuthi, al-Tahaduts bi Nikmatillah, Mathbaah al-Arabiyah al-Haditsah, Kairo, Hal. 45
[3] Al-Suyuthi, al-Radd ‘ala Man Akhlada Ila al-Ardhi, Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, Kairo, Hal. 42
[4] Al-Suyuthi, al-Tahaduts bi Nikmatillah, Mathbaah al-Arabiyah al-Haditsah, Kairo, Hal. 90
[5] lihat penjelasan al-Suyuthi dalam kitab al-Radd ‘ala Man Akhlada Ila al-Ardhi dan al-Tahaduts bi Nikmatillah.
[6] Al-Suyuthi, al-Tahaduts bi Nikmatillah, Mathbaah al-Arabiyah al-Haditsah, Kairo, Hal. 70