Kamis, 29 Januari 2015

Penafsiran Q.S. al-Naba : 40

Maaf yg dimaksud "Mudah-mudahan aku menjadi tanah (Q.S. al-Naba’ : 40)"
Dalam Al Quran sebenarnya al-Naba' itu surat yg ke berapa?

Jawab :
1.    Q.S. al-Naba adalah Surat yang ke 78
2.    Lengkap ayat di atas adalah :
إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا
Artinya : Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah." (Q.S. al-Naba : 40)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan salah satu tafsirnya adalah ketika orang-orang kafir melihat azab Allah yang sangat pedih, maka mereka menginginkan seandainya bisa, maka sebaiknya mereka menjadi tanah saja di dunia dulu dan tidak menjadi makhluq seperti sekarang ini. Karena menjadi makhluq seperti manusia harus menanggung beban dan mempertanggungjawabkan semua amalan. Tafsir yang lain, ketika orang-orang kafir melihat azab Allah yang sangat pedih, mereka menginginkan seandainya bisa, maka sebaiknya mereka menjadi tanah saja sebagaimana binatang-binatang dimana setelah Allah menetapkan hukum di antara mereka dengan cara qishas antara mereka, maka setelah itu Allah berfirman kepada binatang-binatang itu, ”Jadikanlah kalian menjadi tanah.”[1]
Catatan
Perkataan ”laitani” dalam bahasa Arab bermakna tamanni, artinya bercita-cita  sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Dalam konteks ayat di atas, orang-orang kafir bercita-cita menjadi tanah saja begitu melihat azab Allah yang sangat pedih, tetapi itu tidak dimungkinkan lagi karena kiamat sudah terjadi. Dengan sebab demikian, terjemahan yang lebih tepat adalah ”Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah”,  bukan ”mudah-mudahan aku menjadi tanah”. Karena kata mudah-mudahan bermakna harapan yang mungkin dicapai.
Wassalam



[1] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 314

Ahli hadits yang bermazhab Syafi’i (Bag. 8)

16.        Ibnu Hajar al-Asqalani. (773-852 H)
Al-Shakhawi (w. 902 H) salah seorang seorang murid Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya, al-Jawahir wal-Durar  fi Tarjamah Syeikh Islam Ibnu Hajar (kitab biografi Ibnu Hajar al-Asqalani) mengatakan, nama lengkap Ibnu Hajar al-Asqalani adalah Syihabbuddin Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad Ibnu Hajar al-Asqalani dengan dinisbahkan kepada sebuah kota bernama ‘Asqalan di Palestina yang merupakan asal keluarga beliau. Beliau lahir di Mesir pada 22 Sya’ban 773 H.[1]
Guru-guru beliau antara lain :
1.      Zainuddin al-Iraqi
2.      Al-Haitsami
3.      Ibnu al-Mulaqqin
4.      Dan lain-lain[2]

Ibnu Hajar al-Asqalani banyak sekali melahirkan karya-karya gemilang, terutama dalam bidang ilmu hadits. Al-Shakhawi telah menyebut satu persatu nama kitab karya Ibnu Hajar al-Asqalani, yakni sebanyak 205 buah dalam kitabnya, al-Jawahir wal-Durar. Kitab-kitab karya beliau itu antara lain :
1.      Talkhis al-Jam’i baina al-Shahihaini
2.      al-Jam’u baina al-Shahihaini
3.      Mukhtashar al-Targhib wal-Tarhib lil Munziri
4.      Bulughul Maram
5.      Ta’liq ‘ala al-Mauzhu’at li Ibnu al-Jauzi
6.      Al-I’jab bin Bayan al-Asbab
7.      Al-Itqan fi Jami Ahadits Fadhail al-Qur’an
8.      Al-Qaul al-Musaddad fi al-Zabb ‘an Musnad Ahmad
9.      Kasyf al-Satar bi Raka’ataini ba’da al-Witir
10.  Fathul Barri
11.  Syarh al-Turmidzi
12.  Manaqib al-Syafi’i
13.  Lisan al-Mizan
14.  Dan lain-lain[3]

Ibnu Hajar al-Asqalani adalah seorang ahli hadits tiada bandingannya pada zamannya. Ini terbukti dengan banyaknya karya-karya tulis beliau yang sampai sekarang tetap dijadikan sebagai rujukan oleh umat Islam dewasa ini. Dan jangan lupa meskipun beliau mempunyai kemampuan luar biasa dalam ilmu hadits, namun beliau dalam bidang fiqh tetap bermazhab Syafi’i. Berikut pernyataan ulama-ulama kenamaan tentang beliau sebagai bukti keagungan ilmu beliau dan beliau menjadikan mazhab Syafi’i, sebagai mazhab dalam fiqh, antara lain :
1.      Al-Bulqani dalam memberi ijazah kepada Ibnu  Hajar al-Asqalani menulis :
“Telah aku ijazahkan kepadanya untuk mengajar, menyibuk diri dan mengifta’ dengan apa yang sudah dihasilkannya tersebut dan dengan mazhab Syafi’i yang sudah dikuasainya, karena telah berkumpul padanya ilmu, faham dan ifadah.”[4]

2.      Ibnu Hajji al-Husbani dalam menyebut nama  Ibnu Hajar al-Asqalani  mengatakan :
“Al-Imam al-Hafidh al-Mufid al-Bari’ al-Muttaqin yang mempunyai banyak faedah dan fadhilah, Jamal al-Muhaditsin, Penyatu semua pengarang-pengarang Syihabbudin Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad yang terkenal dengan nama Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai asalnya, al-Mishri al-Syafi’i.”[5]

3.      Waliuddin al-Iraqi dalam menyebut nama  Ibnu Hajar al-Asqalani  mengatakan :
“Syihabbuddin Mufti al-Muslimin Abi al-Fadhl Ahmad bin Ali Ibnu Hajar al-Syafi’i.”[6]

Salah seorang murid Ibnu Hajar al-Asqalani adalah Jalaluddin al-Mahalli pengarang kitab fiqh Syafi’i, yaitu kitab Syarh Minhaj al-Thalibin, sebuah kitab fiqh yang cukup terkenal di Indonesia dan dunia Islam umumnya.[7]
KH Sirajuddin Abbas seorang ulama  yang cukup terkenal di Indoensia dan bahkan di Asia Tenggara, juga telah memasukkan nama Ibnu Hajar al-Asqalani dalam ulama-ulama bermazhab Syafi’i dalam buku karya beliau, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i.[8]

17.        Jamaluddin Abu al-Hujaj al-Mizzi
Ibnu al-Subki (w. 771 H) telah memasukkan nama beliau dalam ulama-ulama bermazhab Syafi’i dalam kitab beliau, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra. Nama lengkap beliau adalah Yusuf bin al-Zakki Abdurrahman bin Yusuf bin Ali bin Abd al-Malik Ibn Ali bin Abi Zahr bin al-Kalbi al-Qudha-i al-Dimasyqi. Beliau yang merupakan guru besar dari Ibnu al-Subki, pengarang Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra adalah seorang ahli hadits dan al-hafidh pada zamannya. Dalam menggambarkan kedalaman ilmu hadits al-Mizzi ini, Ibnu al-Subki mengatakan, tidak ada seorangpun yang sebanding dengan beliau sesudah Ibnu ‘Asakir. Yang mengambil hadits dari al-Mizzi antara lain Ibnu Taimiyah, al-Birzali, al-Zahabi, Ibnu Said al-Nass, al-Subki dan lain-lain.
Al-Mizzi lahir pada malam 10 Rabi’ul Akhir 654 H di Halab dan meninggal dunia pada Hari Sabtu 12 Safar 742 H di Dar al-Hadits al-Asyrafiyah di Damsyiq dan dikebumikan di Maqbarah al-Sufiyah.
Diantara karya al-Mizzi kitab Tahzib al-Kamal dan al-Athraf.[9]
Untuk menggambar kebesaran al-Zahabi dalam ilmu hadits, pengarang Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra mengatakan :
“Pada zaman ku ada empat hafizh (ahli hadits), yakni al-Mizzi, al-Birzali, al-Zahabi dan Syeikh al-Imam al-Walid (Imam al-Subki), tidak ada yang kelima pada zaman mereka.”[10]






[1] Al-Shakhawi, al-Jawahir wal-Durar, Dar Ibnu Hazm, Hal. 101-104
[2] Al-Shakhawi, al-Jawahir wal-Durar, Dar Ibnu Hazm, Hal. 202-208
[3] Al-Shakhawi, al-Jawahir wal-Durar, Dar Ibnu Hazm, Hal. 660-685
[4] Al-Shakhawi, al-Jawahir wal-Durar, Dar Ibnu Hazm, Hal. 271
[5] Al-Shakhawi, al-Jawahir wal-Durar, Dar Ibnu Hazm, Hal. 275
[6] Al-Shakhawi, al-Jawahir wal-Durar, Dar Ibnu Hazm, Hal. 284
[7] Al-Shakhawi, al-Jawahir wal-Durar, Dar Ibnu Hazm, Hal. 636
[8] KH Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Pustka Tarbiyah, Jakarta, Hal. 157
[9] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. X, Hal. 395-401
[10] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. IX, Hal. 100

Rabu, 28 Januari 2015

Ini Ajaran Salek Buta Juga (bag. 1)

Sebagian ajaran Salek Buta yang kita dapati dalam masyarakat Aceh antara lain :
1.        Kaum Salek Buta mengatakan, dalam shalat harus mengi’tiqadkan bahwa yang melakukan shalat itu adalah Allah sendiri. Hal ini menurut mereka, dipahami dari firman Allah Ta’ala berbunyi :
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Artinya : Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka dari dirimu sendiri.(Q.S. al-Nisa’ : 79)

Mereka mengatakan, perbuatan melakukan shalat merupakan perbuatan kebajikan, karena itu dapat dipahami bahwa perbuatan melakukan shalat datang dari Allah sesuai dengan firman Allah di atas. Kemudian mereka menyimpulkan kalau perbuatan melaku shalat datang dari Allah, maka tentu Allah-lah yang melakukan shalat tersebut.

Bantahan terhadap syubhat di atas

1).  I’tiqad semacam ini jelas dan terang merupakan i’tiqad ittihad dan hulul yang sangat dimurkai oleh ulama-ulama Ahlusunnah wal Jama’ah. I’tiqad semacam ini sama halnya dengan i’tiqad kaum Nashara yang menganggap Allah menyatu dengan Nabi Isa atau dengan Nabi Isa dan Ibunda beliau, Maryam, bedanya kalau kaum Nashara hanya mengkhususkan kepada Nabi Isa atau Nabi Isa dan Maryam, sedangkan salek buta itu mengin’tiqadkan Allah hulul bersama semua makhluq. Dari sisi ini, maka kaum Salek Buta ini lebih keji dari kufurnya kaum Nashara. Padahal Allah telah mencela kaum Nashara ini dengan firman-Nya :

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72) لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (73)

Artinya :  Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah al-Masih putera Maryam", padahal al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah yang ketiga dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.(Q.S. al-Maidah : 72-73)

       Berikut ini keterangan dari ulama yang mu’tabar yang menjadi ikutan dikalangan Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai iqtiqad ittihad dan hulul, yakni antara lain :

a. Al-Suyuthi mengatakan :

 « Para ulama dan para sufi muhaqqiqiin senantiasa menjelaskan batal pendapat yang mengi’tiqadkan hulul dan ittihad dan merekapun memberitahukan fasidnya serta mengingatkan kesesatannya.»

 

b. Imam Fakruddin al-Razy mengatakan dalam kitab beliau, al-Mahshul fi Ushuluddin :

« Allah Ta’ala tidak mungkin menyatu dengan lainnya. Karena pada ketika menyatu, jika kekal dan maujud kedua-duanya, maka keduanya itu dua, bukan satu dan jika kedua-duanya tidak ada, maka tidak disebut menyatu, bahkan terjadi yang ketiga. Dan jika tidak ada salah satunya dan kekal yang lain, maka tidak disebut menyatu, karena yang tidak ada tidak akan menyatu dengan yang maujud.»

 

c. Berkata Qadhi ‘Iyadh :

« Ijmak kaum Muslimin atas kufur ahli hulul dan orang-orang yang mendakwakan hulul Allah Ta’ala pada seseorang, seperti perkataan sebagian orang yang mendakwakan dirinya sebagai sufi, kaum kebatinan, Nashara dan al-Qaramithah.»

 

                        Tiga kutipan para ulama di atas disebutkan dalam kitab al-Hawi lil Fatawa karangan Imam al-Suyuthi.[1]

 

d. Syeikh Abd al-Wahab al-Sya’rani seorang sufi yang terkenal dengan kitabnya, al-Mizan al-Kubra mengutip perkataan Ibnu Arabi dalam kitabnya, al-Yawaqit al-Jawahir sebagai berikut :

« Ibnu Arabi mengatakan dalam bab ketiga dari kitab al-Futuhaat, sesungguhnya tidak ada sesuatupun dari Allah (zat dan sifat-Nya) pada seseorang dan tidak boleh yang demikian itu dari segala tinjauan. Dalam Bab al-Asrar, Ibnu Arabi mengatakan, tidak boleh bagi seorang ‘Arif mengatakan, Aku adalah Allah, meskipun dia sudah sampai setinggi-tinggi derajat kedekatan dengan Allah. Jauhlah hai ‘Arif dari ini perkataan, jauhkanlah.»[2]


Alhasil bagaimanapun kedekatan seorang hamba dengan tuhannya, itu tidak menjadikan hamba sebagai tuhan dan juga sebaliknya tuhan sebagai hamba. Bahkan Ibnu Arabi sendiri yang sering dijadikan hujjah untuk  kebatilan mereka ini membantah secara tegas i’tiqad penyatuan makhluq dengan Khaliqnya.

2).  Menjadikan kandungan Q.S. al-Nisa’ : 79 sebagai dalil kebatilan mereka tersebut sangat tidaklah tepat, karena ayat ini bukan membicarakan perbuatan yang bersifat ikhtiyar/usaha seperti perbuatan melakukan shalat dan lainnya, tetapi hanya kejadian-kejadian di dunia ini yang bersifat bukan ikhtiyar seperti sakit, bencana alam dan lain-lain sebagaimana telah dijelaskan al-Khazin dalam tafsirnya. Ahli tafsir yang sangat terkenal di dunia Islam ini berargumentasi dalam Bahasa Arab kalau ingin menyebut melakukan suatu perbuatan ta’at atau maksiat yang berbentuk ikhtiyar dengan menggunakan perkataan ِ"ashabaِ" maka dikatakan, ِ"ashabtahaِ" (kamu melakukannya), bukan ِ"ashabaka "(sesuatu menimpamu). perbedaan keduanya, yang pertama dhamir mukhathab sebagai fa’il (subjek), sedangkan kedua dhamir mukhathab sebagai maf’ul bihi (objek). jadi kalau dhamir mukhathab sebagai maf’ul bihi (objek) sebagaimana pada ayat ini, maka bermakna kejadian bukan ikhtiyar seperti sakit dan bencana.[3] Jadi kesimpulannya, kandungan Q.S. al-Nisa’ : 79 di atas tidaklah tepat sebagai dalil kebatilan kaum Salek Buta di atas.

3).  Seandainya kita terima (sekali lagi seandainya kita terima) bahwa maksud Q.S. al-Nisa’ : 79 di atas termasuk juga perbuatan ikhtiyar sebagaimana dakwaan kaum Salek Buta, maka menyandarkan perbuatan ikhtiyar yang baik kepada Allah Ta’ala bukan berarti penyandaran tersebut merupakan penyandaran perbuatan kepada pelakunya sebagai usahanya. Akan tetapi hanya merupakan penyandaran suatu perbuatan kepada pencipta perbuatan itu (al-ijaad), bukan usaha (al-iktisab). Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala berbunyi :
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى
Artinya : Dan bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Q.S. al-Anfal :17)

Dalam ayat ini, Allah dari satu sisi menisbahkan perbuatan melempar kepada Muhammad dengan firman-nya ‘ketika kamu melempar”, akan tetapi di sisi lain menapikannya dengan firman-nya ‘bukanlah kamu yang melempar”, dan menisbahkan kepada Allah sendiri dengan firman-nya  ”tetapi Allah-lah yang melempar”. Karena itu, dhahir ayat ini bertentangan, akan tetapi tentu kita mengimani bahwa ayat-ayat al-Qur’an tidak ada yang saling bertentangan. Dengan demikian,  penisbatan perbuatan melempar kepada Muhammad dengan firman-Nya ‘ketika kamu melempar” adalah penisbatan perbuatan kepada pelakunya sebagai usaha, sedangkan penisbatan perbuatan melempar kepada Allah sendiri dengan firman-Nya  ”tetapi Allah-lah yang melempar” adalah penisbatan penciptaan perbuatan pelemparan tersebut. Jadi, yang dinafikan Allah dengan firman-Nya ‘bukanlah kamu yang melempar” adalah penisbatan penciptaan perbuatan melempar kepada Muhammad. Penisbatan perbuatan ikhtiyar kepada Allah sebagai penisbatan penciptaan perbuatan adalah sesuai dengan firman Allah berbunyi :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.(Q.S Al-Shaaffaat : 96)

4).  Penafsiran Q.S. al-Nisa’ : 79 model kaum Salek Buta ini telah membedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk dalam hal penciptaan perbuatan. Ini dipahami dari pernyataan mereka bahwa perbuatan melakukan shalat datang dari Allah, karena perbuatan melakukan shalat merupakan kebaikan, padahal sebagai orang yang beriman dengan rukun iman yang enam, kita diajarkan tentang keimanan yang baik dan yang buruk datang dari Allah Ta’ala. Jadi bukan hanya perbuatan yang baik saja yang datang dari qudrah dan iradah Allah Ta’ala, tetapi perbuatan buruk atau jahat juga datang dari qudrah dan iradah Allah Ta’ala. Ini telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya berbunyi :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Artinya : Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. An-Nahl : 93)

5).  Lalu bagaimana penafsiran yang benar firman Allah Ta’ala Q.S. al-Nisa’ : 79  ini ?. Untuk itu mari kita simak penafsiran ulama tafsir yang berkompenten dalam ilmu tafsir al-Qur’an, antara lain :
a. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa pengertian “Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah” adalah merupakan anugerah, karunia, kasih sayang dan rahmat dari Allah. Sedangkan pengertian “dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka dari dirimu sendiri” adalah dari pihak dan amal kamu. Selanjutnya Ibnu Katsir dalam menegaskan pengertian ayat di atas mengutip perkataan al-Saddi, Hasan Basri, Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid yang mengatakan, “maka dari dirimu sendiri”, pengertianya adalah “dengan sebab dosamu”. Ibnu Katsir juga mengutip perkataan Qatadah yang mengatakan, “maka dari dirimu sendiri”, pengertianya adalah “siksaan bagimu hai anak Adam dengan sebab dosamu.”[4]
b. Dalam Tafsir al-Khazin disebutkan, "maka dari Allah” pengertiannya adalah “dari karunia Allah untukmu” dan sebagai ihsan untukmu dan “maka dari dirimu sendiri”, pengertiannya adalah “dari pihak dirimu dan dengan sebab dosa yang diusahakan oleh dirimu yang menyebabkan itu.” Kemudian al-Khazin menyimpulkan bahwa makna “maka dari dirimu sendiri”, adalah siksaan karena dosamu hai anak Adam sebagaimana telah berkata Qatadah. al-Khazin juga mengutip perkataan Al-Kalabi yang maksudnya senada dengan yang dikemukakan Qatadah di atas.[5]

Berdasarkan penafsiran yang dikemukakan oleh ahli tafsir dan para ulama dari kalangan Tabi’in di atas jelaslah bahwa maksud ayat di atas adalah kira-kira : " Apa saja kebaikan (dalam bentuk bukan perbuatan ikhtiyar) yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan (juga dalam bentuk bukan perbuatan ikhtiyar) yang menimpamu, maka itu dari Allah juga, namun Allah menimpa keburukan itu atasmu karena balasan atas dosa-dosa yang kamu perbuat.”           Penafsiran seperti ini harus dijadikan sebagai penafsiran yang benar, karena telah disepakati bahwa baik dan buruk, semuanya datang dari Allah Ta’ala sebagaimana dalil-dalil yang telah kami kemukakan di atas. Berdasarkan ini, maka menyandarkan keburukan kepada manusia (perkataan  “maka dari dirimu sendiri”) merupakan majaz (kiasan, bukan makna sebenarnya). Yakni pada hakikatnya, keburukan itu disandarkan kepada qudrah dan iradah Allah, tetapi di sini disandarkan kepada usaha manusia yang merupakan sebab ada siksaan Allah Ta’ala dengan jalan majaz. Dalam ilmu bayan disebut majaz isnad, yakni isnad sesuatu kepada sebabnya. Penjelasan majaz pada ayat ini sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh Syeikh Ahmad al-Shawi dalam tafsirnya, Hasyiah ‘ala Tafsir al-Jalalain[6] dan al-Khazin dalam tafsirnya.[7]





[1] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa,  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 130-134
[2] Abd al-Wahab al-Sya’rani, al-Yawaqit al-Jawahir, Hal. 58
[3] Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 401
[4] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 320
[5] Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 400-401
[6] Ahmad al-Shawi, Hasyiah ‘ala Tafsir al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 231-232
[7] Al-Khazin, Tafsir al-Khazin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 401