Kamis, 30 Januari 2014

Shalat Untuk Menghormati Waktu (Bag. 1)

Shalat merupakan tiang agama dan salah satu rukun Islam. Karena itu meninggalkan shalat secara sengaja merupakan dosa besar. Dalam keadaan apapun, tidak ada alasan bagi orang yang mengaku beriman untuk meninggalkan shalat kecuali memang ada dispensasi dari agama seperti perempuan berhaid (maani' al-shalat). Sehingga tidak mengherankan dalam beberapa keadaan yang tidak normal, meskipun shalat dinyatakan  tidak sah, namun tetap wajib dilakukan demi menghormati waktunya, meskipun kemudian wajib diulangi lagi apabila keadaan sudah normal kembali.
Berikut ini beberapa keadaan shalat yang dinyatakan tidak sah, namun tetap wajib dilakukan demi menghormati waktu menurut fiqh Syafi’i, antara lain :
1.      Apabila tidak menemukan air dan tanah untuk bersuci
Apabila seseorang yang berhadats, baik hadats besar atau hadats kecil,  namun dia tidak mendapatkan air yang dapat digunakan untuk mandi atau berwudhu’ atau tanah untuk tayamum, maka orang ini wajib shalat dalam keadaan berhadats demi menghormati waktu shalat, kemudian setelah mendapatkan air atau tanah, maka wajib mengulangi shalatnya dengan terlebih dahulu bersuci dengan air atau tayamum dengan tanah. Dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj disebutkan :
ومن لم يجد ماء ولا ترابا كالمحبوس في موضع ليس فيه واحد منهما لزمه في الجديد ان يصلي الفرض لحرمة الوقت ويعيد اذا وجد احدهما
“Barangsiapa yang tidak mendapati air dan tanah misalnya orang yang ditahan pada suatu tempat yang tidak ada padanya salah satu dari air atau tanah pada tempat tersebut, maka menurut pendapat jadid, wajib melakukan shalat fardhu untuk menghormati waktu, kemudian mengulangi lagi shalat itu apabila sudah didapati salah satu keduanya.”[1]

Dalam Fathul Wahab karya Zakariya al-Anshary disebutkan :
( وَعَلَى فَاقِدِ ) الْمَاءِ وَالتُّرَابِ ( الطَّهُورَيْنِ ) كَمَحْبُوسٍ بِمَحِلٍّ لَيْسَ فِيهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا ( أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرْضَ ) لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ ( وَيُعِيدَ ) إذَا وَجَدَ أَحَدَهُمَا
“Wajib atas orang yang tidak mendapati dua yang menyucikan (air dan tanah), misalnya orang yang ditahan pada suatu tempat yang tidak ada padanya salah satu dari air atau tanah pada tempat tersebut, melakukan shalat fardhu untuk menghormati waktu, kemudian mengulangi lagi shalat itu apabila sudah didapati salah satu keduanya.”[2]

2.      Apabila dalam keadaaan bernajis, tetapi tidak mampu menghilangkannya.
Seseorang dalam keadaaan bernajis, tetapi tidak ada air guna menyucikannya ataupun ada air, tetapi kalau dibasuh dikuatirkan terjadi sesuatu yang dapat menghilangkan manfaat atau anggota tubuh atau hal lain yang memudharatkan tubuh, maka wajib melakukan shalat menurut keadaan apa adanya, kemudian wajib mengulanginya lagi apabila keadaan sudah normal kembali. Syeikh Ishaq al-Syairazi mengatakan :
إذَا كَانَ عَلَى بَدَنِهِ نَجَاسَةٌ غَيْرُ مَعْفُوٍّ عَنْهَا وَلَمْ يَجِدْ مَا يَغْسِلُهَا بِهِ صَلَّى وَأَعَادَ كَمَا قُلْنَا فِيمَنْ لَمْ يَجِدْ مَاءً وَلَا تُرَابًا وَإِنْ كَانَ عَلَى قَرْحِة دَمٌ يَخَافُ مِنْ غَسْلِهِ صَلَّى وَأَعَادَ وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ لَا يُعِيدُ لِأَنَّهُ نَجَاسَةٌ يُعْذَرُ فِي تَرْكِهَا فَسَقَطَ مَعَهَا الْفَرْضُ كَأَثَرِ الِاسْتِنْجَاءِ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ لِأَنَّهُ صَلَّى بِنَجَسٍ نَادِرٍ غَيْرِ مُتَّصِلٍ فَلَمْ يَسْقُطْ مَعَهُ الْفَرْضُ كَمَا لَوْ صَلَّى بنجاسة نسيها
“Apabila pada badan seseorang ada najis yang tidak dimaafkan, sedangkan air untuk membasuhnya tidak ada, maka hendaknya shalat dan kemudian mengulanginya sebagaimana pendapat kita tentang orang-orang yang tidak mendapati air dan tanah. Dan jika atas luka seseorang ada darah yang dikuatirkan kalau membasuhnya, maka hendaknya shalat dan mengulanginya. Berkata pada pendapat qadim, tidak mengulanginya, karena darah merupakan najis yang menjadi ‘uzur dalam meninggalkan shalat, maka gugur kewajiban shalat dengan sebabnya seperti bekas istinjak. Pendapat pertama lebih shahih karena orang tersebut melakukan shalat dengan bernajis yang jarang (nadir) yang tidak bersambung-sambung, karenanya tidak gugur kewajiban dengan sebabnya sebagaimana kalau seseorang shalat dalam keadaan bernajis yang dilupakannya.”[3]

Imam al-Nawawi dalam mengomentari ucapan al-Syairazi di atas menjelaskan bahwa kewajiban melakukan shalat dalam kasus di atas adalah demi menghormati waktu shalat dan karena beramal dengan sabda Nabi SAW berbunyi :
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بشئ فاتوا منه ما استطتم
Artinya : Apabila aku perintah kamu dengan sesuatu, maka datangkanlah menurut kemampuan kamu. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun kewajiban mengulangi shalat lagi adalah karena ‘illat yang telah disebut Syeikh al-Syairazi, pengarang al-Muhazzab di atas, yaitu jarang terjadi (nadir).[4]
Ali Syibran al-Malasi dalam kitab beliau, Hasyiah ‘ala Nihayah al-Muhtaj, mengatakan :
أَنَّ مَنْ فَقَدَ السُّتْرَةَ يُصَلِّي عَارِيًّا وَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ ، بِخِلَافِ الْمُحْدِثِ وَمَنْ بِبَدَنِهِ نَجَاسَةٌ فَإِنَّ كُلًّا مِنْهُمَا يُصَلِّي لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَيُعِيدُ
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mendapati penutup aurat hendaknya shalat dalam keadaan tidak menutup aurat dan tidak perlu mengulanginya. Ini berbeda dengan orang yang berhadats dan orang yang pada tubuhnya bernajis, maka keduanya ini melakukan shalat untuk menghormati waktu dan mengulanginya kembali.”[5]

3.      Apabila seseorang dimana keadaannya wajib taqlid dalam menentukan arah kiblat, tetapi tidak ditemui orang yang boleh ditaqlid.

Tentang ini, Imam al-Nawawi dalam kitab beliau, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengatakan :
إذَا لَمْ يَجِدْ مَنْ فَرْضُهُ التَّقْلِيدُ مَنْ يُقَلِّدُهُ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ وَتَلْزَمُهُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عذر نادر
“Apabila seseorang yang kewajibannya adalah taqlid (dalam menentukan arah kiblat), apabila tidak menemui seseorang yang boleh ditaqlidnya, maka wajib atasnya shalat demi menghormati waktu menurut sekira-kira keadaannya dan wajib mengulanginya kembali, karena itu merupakan ‘uzur yang jarang terjadi (nadir).”[6]

4.      Apabila seseorang yang mampu berdiri, tetapi shalat sambil duduk karena kuatir diketahui musuh dalam peperangan.

Imam al-Nawawi mengatakan :

لَوْ جَلَسَ لِلْغُزَاةِ رَقِيبٌ يَرْقُبُ الْعَدُوَّ فَأَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ وَلَوْ قَامَ لَرَآهُ الْعَدُوُّ أَوْ جَلَسَ الْغُزَاةُ فِي مَكْمَنٍ وَلَوْ قَامُوا رَآهُمْ الْعَدُوُّ وَفَسَدَ التَّدْبِيرُ فَلَهُمْ الصَّلَاةُ قُعُودًا وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِنُدُورِهِ
“Dalam suatu peperangan, sipengintai duduk mengintai musuhnya, pada waktu itu datang waktu shalat, seandainya dia berdiri, pastilah dilihat musuh atau para tentara duduk pada suatu tempat dimana seandainya mereka berdiri, pastilah mereka dilihat musuh sehingga rusaklah pengaturannya, maka bagi mereka ini boleh shalat dalam keadaan duduk dan wajib mengulanginya lagi karena jarang terjadi (nadir).”[7]

5.      Orang muqim yang tidak menemui air, lalu shalat dengan bertayamum

Dalam Syarah al-Mahalli disebutkan :

(وَيَقْضِي الْمُقِيمُ الْمُتَيَمِّمُ لِفَقْدِ الْمَاءِ) لِنُدُورِ فَقْدِهِ فِي الْإِقَامَةِ وَعَلَى الْمُخْتَارِ السَّابِقِ لَا يَقْضِي (لَا الْمُسَافِرُ) الْمُتَيَمِّمُ لِفَقْدِهِ لِعُمُومِ فَقْدِهِ فِي السَّفَرِ
“Muqim yang bertayamum karena tidak ditemui air mengqadha shalatnya, karena jarang tidak air pada tempat bermuqim. Berdasarkan pendapat yang terpilih terdahulu tidak diqadha. Musafir yang bertayamum karena tidak ada air tidak perlu mengqadhanya, karena umum tidak ada air dalam perjalanan.”[8]

6.      Bertayamum dengan sebab takut kepada dingin

Dalam Syarah al-Mahalli disebutkan :
(وَمَنْ تَيَمَّمَ لِبَرْدٍ قَضَى فِي الْأَظْهَرِ) لِنُدُورِ فَقْدِ مَا يُسَخِّنُ بِهِ الْمَاءَ، وَالثَّانِي لَا يَقْضِي مُطْلَقًا، وَيُوَافِقُهُ الْمُخْتَارُ السَّابِقُ. وَالثَّالِثُ يَقْضِي الْحَاضِرُ دُونَ الْمُسَافِرِ (أَوْ) تَيَمَّمَ (لِمَرَضٍ يَمْنَعُ الْمَاءَ مُطْلَقًا) أَيْ فِي جَمِيعِ أَعْضَاءِ الطَّهَارَةِ (أَوْ فِي عُضْوٍ وَلَا سَاتِرَ) بِذَلِكَ مِنْ جَبِيرَةٍ فَأَكْثَرَ مَثَلًا (فَلَا) يَقْضِي لِعُمُومِ الْمَرَضِ
“Barangsiapa yang bertayamum karena dingin, maka hendaknya mengqadha shalatnya menurut pendapat yang lebih dhahir, karena jarang terjadi tidak ditemui hal-hal yang dapat menghangatkan air itu. Pendapat kedua tidak diqadha secara mutlaq. Pendapat ini sesuai dengan pendapat terpilih terdahulu. Pendapat ketiga diqadha oleh yang hadhir, tidak oleh musafir. Barangsiapa yang bertayamum karena sakit yang tertegah menggunakan air secara mutlaq, maksudnya pada semua anggota tubuh atau pada satu anggotanya, tetapi tidak ada penutup (saatir) pada anggota tubuh itu berupa jabirah atau banyak anggota tubuh (sebagai contoh), maka tidak mengqadha, karena umum sakit.”[9]

7.      Apabila meletak penutup sakit sedangkan si sakit dalam keadaan berhadats
Seseorang sakit misalnya patah tulang, setelah diurut tulangnya lalu dibuatlah penutup (jabirah). Apabila jabirah ini diletak pada tulang patah tersebut dimana sisakit dalam keadaan berhadats, maka wajib dicabut jabirah tersebut, tetapi apabila tidak mungkin, maka dia wajib shalat pada waktunya, tetapi wajib mengulanginya kembali pada waktu lain apabila sudah norma kembali. Dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj disebutkan :
(فَإِنْ وَضَعَ) السَّاتِرَ (عَلَى حَدَثٍ وَجَبَ نَزْعُهُ) إنْ أَمْكَنَ بِأَنْ لَا يَخَافَ مِنْهُ ضَرَرًا كَمَا ذَكَرَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ لِيَتَطَهَّرَ فَيَضَعَهُ عَلَى طُهْرٍ فَلَا يَقْضِي كَمَا تَقَدَّمَ. (فَإِنْ تَعَذَّرَ) نَزْعُهُ لِخَوْفِ مَحْذُورٍ مِمَّا ذَكَرَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (قَضَى) مَعَ مَسْحِهِ بِالْمَاءِ (عَلَى الْمَشْهُورِ) لِانْتِفَاءِ شَبَهِهِ حِينَئِذٍ بِالْخُفِّ.
“Apabila diletak penutupnya atas dalam keadaan berhadats, maka wajib mencabutnya apabila memungkinkan yakni apabila tidak dikuatirkan mudharat sebagaimana disebut dalam Syarah al-Muhazzab supaya bersuci kembali dan meletakkan kembali dalam keadaan suci, sehingga tidak perlu mengqadha lagi sebagaimana yang sudah dahulu. Namun jika ‘uzur mencabutnya karena kekuatiran yang perlu dipelihara sebagaimana disebut dalam Syarah al-Muhazzab, maka hendaknya mengqadha shalatnya dengan disertai menyapu dengan air berdasarkan pendapat masyhur karena ternafi kesamaannya dengan menyapu sepatu.”[10]

Berdasarkan beberapa contoh kasus dan fatwa ulama Syafi’iyah di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      bahwa ada beberapa kasus dalam shalat yang tidak memenuhi persyaratan keabsahan shalat, tetapi shalat tersebut tetap wajib dilaksanakan menurut keadaan apa adanya karena menghormati waktu. Kewajiban ini sebagaimana telah disebut oleh Imam al-Nawawi di atas adalah karena beramal dengan sabda Nabi SAW berbunyi :
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بشئ فاتوا منه ما استطتم
Artinya : Apabila aku perintah kamu dengan sesuatu, maka datangkanlah menurut kemampuan kamu. (H.R. Bukhari dan Muslim)

2.      Namun kewajiban melaksanakan pada waktunya menurut keadaan apa adanya ini tidak menggugurkan taklif, karena itu, tetap wajib diulangi kembali (i’adah) apabila keadaan normal kembali. Kami menangkap dari fatwa-fatwa di atas (mudah-mudahan ini benar) bahwa ‘illat mengulangi kembali shalat adalah nadir terjadi (jarang terjadi), maksudnya apabila kasus tersebut nadir, maka wajib mengulangi kembali shalatnya dan sebaliknya kalau umum terjadi (tidak nadir), maka tidak perlu mengulanginya kembali.
3.      Ada dua perkataan yang dijadikan istilah oleh ulama-ulama di atas untuk makna “mengulangi kembali shalat”, yaitu pertama “i’adah” dan kedua “qadha”. Menurut hemat kami yang dha’if ilmu ini, perbedaan ini adalah karena perbedaan ulama dalam mengguna istilah untuk shalat yang dilakukan diluar waktu padahal shalat tersebut sudah pernah dilaksanakan dalam waktunya namun dianggap cedera salah rukun atau syaratnya. Sebagian ulama mengatakan itu sebagai I’adah, sedangkan ulama lain mengatakannya sebagai qadha.





[1]. Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, (Dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah), Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 96
[2]. Zakariya al-Anshary, Fathul Wahab, (Dicetak pada hamisy al-Bujairumi ‘ala Fathul Wahab), Cet. Darul Fikri, Juz. I, Hal. 128
[3] Syeikh Ishaq Syairazi, al-Muhazzab, Dicetak dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Cet. Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 144
[4] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Cet. Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 144
[5] Ali Syibran al-Malasy, Hasyiah ‘ala Nihayah al-Muhtaj, (Versi Maktabah Syamilah) Juz. I, Hal. 58
[6] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Cet. Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 210
[7] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Cet. Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 239
[8] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, (Dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah), Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 96
[9] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, (Dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah), Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 97
[10] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, (Dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah), Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar