Kamis, 29 Agustus 2013

Iman kepada Qadha dan Qadar


Pengertian Qadha dan Qadar
Menurut bahasa qadha memiliki beberapa arti yaitu hukum, ketetapan, perintah, dan kehendak dan qadar berarti kepastian, kuasa, nasib dan ukuran. Sedangkan menurut istilah, golongan ulama dari kalangan mazhab al-Asy’ari memaknai qadha dengan iradah Allah SWT pada azali tentang segala sesuatu dengan segala keadaan-keadaannya. Sedangkan qadar adalah  penciptaan sesuatu oleh Allah sesuai dengan ukuran dan keadaan tertentu yang menjadi iradah Allah SWT. Dengan demikian qadha merupakan sifat zat dan sifat qadim, sedangkan qadar merupakan sifat perbuatan dan sifat baharu di sisi ulama dari kalangan mazhab al-Asy’ari. Sedangkan menurut ulama dari kalangan mazhab al-Maturidi, qadha adalah penciptaan sesuatu oleh Allah dengan pasti dan qadar adalah penentuan segala makhluq oleh Allah pada azali dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada makhluq berupa baik dan buruk, manfaat dan mudharat dan lainnya. Dengan demikian qadha merupakan sifat perbuatan dan sifat baharu, sedangkan qadar merupakan sifat zat dan qadim, sebalik dari pendapat ulama dari kalangan mazhab al-Asy’ari.[1]
B. Pengertian Iman Kepada Qadha dan Qadar
Beriman kepada qada dan qadar adalah menyakini dengan sepenuh hati adanya ketentuan Allah SWT yang berlaku bagi semua mahluk hidup. Semua itu menjadi bukti kebesaran dan kekuasan Allah SWT. Jadi, segala sesuatu yang terjadi di alam fana ini telah ditetapkan oleh Allah SWT pada azali.

C. Dalil – Dalil Tentang Beriman Kepada Qadha dan Qadar
a. Q.S. al-Ra’d  : 11, berbunyi :
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya : Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain-Nya. ( Q.S Al-Ra’d  : 11)

b. Q.S. al-A’laa  : 3, berbunyi :
وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
ٰArtinya : Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (Q.S. al-A’laa  : 3)

c. Dalam hadits Nabi SAW dijelaskan pengertian imam, yaitu :
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله و باليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Artinya : Iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, beriman dengan hari akhirat dan beriman dengan qadar baik dan buruk.(H.R. Muslim)[2]



[1] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah ‘ala Jauharah al-Tauhid, Darussalam, Kairo, Hal. 188-189
[2] Al-Manawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 184

Jumat, 16 Agustus 2013

Hadits tidur siang pada bulan Ramadhan


Hadits ini sering dijadikan alasan bagi orang-orang yang suka tidur pada waktu siang Ramadhan dengan berargumentasi sebagai ibadah. Bunyi hadits ini, lengkapnya sebagai berikut :
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ
Artinya : Tidur orang berpuasa adalah ibadah. (H.R. Baihaqi).[1]

Imam Baihaqi telah menyebut hadits ini dalam kitab beliau, Syu’b al-Iman dengan tiga jalur sanadnya, dimana dalam ketiga jalur sanadnya tersebut terdapat Abdul Malik bin Umair. Sedangkan jalur sanad yang kedua disamping Abdul Malik bin Umair, juga terdapat Sulaiman bin Amr. Sedangkan pada jalur yang ketiga terdapat Ma’ruf bin Hasan. [2]
            Baihaqi setelah menyebut ketiga hadits di atas, mengatakan :
“Ma’ruf bin Hasan dha’if dan Sulaiman bin ‘Amr al-Nakh’i lebih dhaif darinya.”[3]

            Al-Hafizh Zainuddin al-Iraqi dalam mentakhrij hadits di atas, mengatakan :
“Kami telah meriwayatnya dalam Amali Ibnu Mandah dari riwayat Ibnu al-Mughirah al-Qawas dari Abdullah bin Umar dengan sanad dha’if. Kemungkinan maksudnya Abdullah bin ‘Amr, karena ahli hadits tidak menyebut riwayat bagi Ibnu al-Mughirah kecuali dari Abdullah bin ‘Amr. Telah diriwayat pula oleh Abu Manshur al-Dailamy dalam Musnad al-Firdaus dari hadits Abdullah bin Abi Aufa dan pada sanad hadits tersebut ada Sulaiman bin ‘Amr al-Nakh’i, salah seorang pendusta.”[4]

Al-Munawi dalam Faidh al-Qadir, mengatakan :
“Al-Zahabi telah memasukkan Abdul Malik bin ‘Umair dalam kelompok perawi dhaif. Ahmad mengatakan, dia muththarib hadits. Ibnu Mu’in mengatakan, mencampuradukkan dan Abu Hatim mengatakan, tidak terpelihara.”[5]


[1] Baihaqi, Syu’b al-Iman, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 422, No. Hadits : 3654
[2] Baihaqi, Syu’b al-Iman, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 421-422, No. Hadits : 3654
[3] Baihaqi, Syu’b al-Iman, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 422, No. Hadits : 3654
[4] Zainuddin al-Iraqi, Takhrij Ahadits al-Ihya, dicetak di bawah Ihya alumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 232
[5] Al-Munawi, Faidh al-Qadir, maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 378

Minggu, 11 Agustus 2013

Mengulangi Surat al-Ikhlash pada Shalat Tarawih


1.        Zainuddin al-Malibary dalam Fathul Mu’in mengatakan :
“Mengulang-ulangi lafazh Qulhuwallahu ahad dalam raka’at-raka’at yang akhir dari setiap raka’at Tarawih adalah bid’ah ghairu hasanah (bid’ah tidak baik), karena hal itu mencederakan sunnah sebagaimana diifta’ oleh Syeikhuna (Ibnu Hajar al-Haitamy)[1]

Pemahaman Zainuddin al-Malibary ini sebagaimana tulisan beliau di atas, disandarkan kepada fatwa Ibnu Hajar al-Haitamy. Namun ini disanggah oleh al-Bakri al-Damyathi dalam Hasyiah beliau atas kitab Fathul Mu’in karangan Zainuddin al-Malibary tersebut dengan mengatakan bahwa Ibnu Hajar al-Haitamy tidak menyebutkan hal itu sebagai bid’ah ghairu hasanah, tetapi beliau hanya mengatakan bahwa pengulangan tersebut merupakan tindakan yang tidak disunnahkan, bahkan beliau menambahkan bahwa hal itu tidak dimakruhkan berdasarkan qawaid kita (Mazhab Syafi’i), karena tidak ada larangan khusus tentang itu.[2] Keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy yang dimaksud oleh al-Bakri al-Damyathi tersebut disebut dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah sebagaimana dikutip pada point kedua di bawah ini.

2.        Dalam Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah karangan Ibnu Hajar al-Haitamy disebutkan :
(وَسُئِلَ) نَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ عَنْ تَكْرِيرِ سُورَةِ الْإِخْلَاصِ فِي التَّرَاوِيحِ هَلْ يُسَنُّ وَإِذَا قُلْتُمْ لَا فَهَلْ يُكْرَهُ أَمْ لَا وَقَدْ رَأَيْت فِي الْمُعْلِمَاتِ لِابْنِ شُهْبَةَ أَنَّ تَكْرِيرَ سُورَةِ الْإِخْلَاصِ فِي التَّرَاوِيحِ ثَلَاثًا كَرِهَهَا بَعْضُ السَّلَفِ قَالَ: لِمُخَالَفَتِهَا الْمَعْهُودَ عَمَّنْ تَقَدَّمَ؛ وَلِأَنَّهَا فِي الْمُصْحَفِ مَرَّةً فَلْتَكُنْ فِي التِّلَاوَةِ مَرَّةً اهـ فَهَلْ كَلَامُهُ مُقَرَّرٌ مُعْتَمَدٌ أَمْ لَا بَيِّنُوا ذَلِكَ وَأَوْضِحُوهُ لَا عَدِمَكُمْ الْمُسْلِمُونَ (فَأَجَابَ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ بِقَوْلِهِ: تَكْرِيرُ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْإِخْلَاصِ أَوْ غَيْرِهَا فِي رَكْعَةٍ أَوْ كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْ التَّرَاوِيحِ لَيْسَ بِسُنَّةٍ، وَلَا يُقَالُ: مَكْرُوهٌ عَلَى قَوَاعِدِنَا. لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيهِ نَهْيٌ مَخْصُوصٌ
Artinya : Ibnu Hajar al-Haitamy-semoga Allah memamfaatkannya-ditanyai mengenai mengulang-ulangi Surat al-Ikhlash pada Tarawih apakah disunnahkan? Apabila kamu mengatakan tidak, apakah dimakruhkan atau tidak ? Saya pernah melihat dalam kitab al-Mu’limaat karya Ibnu Syubhah bahwa mengulangi Surat al-Ikhlash pada Tarawih sebanyak tiga kali telah dimakruhkan oleh sebagian salaf. Sebagian salaf tersebut mengatakan, “Karena pengulangan tersebut berselisihan dengan yang maklum dari orang-orang terdahulu dan karena Surat al-Ikhlash dalam mashaf hanya satu kali, maka hendaklah dibaca satu kali juga.” Maka apakah kalamnya itu dapat dipegang dan mu’tamad atau tidak ? Jelaskan dan terangkan ! semoga kaum muslimin tidak menganggapmu tidak ada.
                     Ibnu Hajar –semoga Allah melapangkannya dalam kehidupannya- menjawab dengan perkataan beliau : Bahwa mengulang-ulangi Surat al-Ikhlash atau lainnya dalam satu raka’at atau setiap raka’at shalat Tarawih tidaklah sunnah dan tidak dikatakan makruh berdasarkan qawaid kita, karena tidak datang larangan khusus tentangnya. [3]

Selanjutnya, Ibnu Hajar dalam halaman yang sama mengutip fatwa Ibnu Abdussalam, Ibnu Shilah dan lainnya, yaitu membaca al-Qur’an menurut qadar yang telah ber’adat pada tarawih, yaitu jumlah juzu’ yang ma’ruf dengan ukuran dalam satu bulan dapat mengkhatam seluruh isi Al-qur’an adalah lebih baik dari pada membaca surat-surat pendek. ‘Illat-nya karena sunat qiyaam pada tarawih dengan seluruh al-Qur’an.

3.        Al-Bakri al-Damyathi, sesudah menyanggah tulisan Zainuddin al-Malibary dalam Fathul Mu’in sebagaimana disebut pada point pertama dan mengutip pernyataan Ibnu Hajar al-Haitamy sebagaimana disebut pada point kedua di atas, mengatakan :
“Walhasil, menurut yang dhahir dari kalam mereka, sesungguhnya yang warid  adalah membaca semua al-Qur’an dengan juzu’-juzu’ yang maklum, itu lebih aula dan utama. Selain itu adalah khilaf aula dan utama, baik dibaca Surat al-Ikhlash atau lainnya pada setiap raka’at atau pada sebagiannya yang akhir dari rakaat atau yang pertama, baik diulangi tiga kali atau bukan. Karena itu yang menjadi kebiasaan ahli Makkah membaca Qul huwallahu ahad pada raka’at-raka’at yang akhir dan alhakum sampai al-masad pada rakaat pertama merupakan khilaf afdhal.”[4]


[1] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 266
[2] al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 266
[3] Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz I, Hal. 184
[4] al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 266

Kamis, 08 Agustus 2013

Imam Mahdi


Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mengi’tiqadkan bahwa Imam Mahdi akan muncul kelak pada akhir zaman. Di bawah ini keterangan para ulama mengenai kemunculan imam Mahdi, antara lain :
1.      Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
Sebagian Imam mengatakan, telah mutawatir dan masyhur kabar dengan sebab banyak riwayatnya dari Nabi Mustafaa SAW bahwa akan muncul Mahdi dari keturunan Nabi SAW, berkuasa selama tujuh tahun, memenuhi bumi ini dengan keadilan dan keluar bersama Isa saling membantu membunuh Dajjal di pintu gerbang Lad di bumi Palestina. Imam Mahdi mengimami shalat dan Isa dimengikuti  dibelakangnya.”[1]

2.      Muhammad Amin al-Kurdy mengatakan :
“Yang pertama dari tanda-tanda besar datangnya kiamat adalah munculnya Mahdi. Dia adalah laki-laki perkasa dari anak Fatimah r.a. yang memenuhi bumi dengan kearifan dan keadilan sebagaimana dipenuhi dengan kedhaliman dan kefasikan.”[2]

3.      As-Suyuthi mengutip dari gurunya, al-Iraqi bahwa Imam Mahdi telah lahir pada tahun 255 dan sepakat dengan pendapat itu Syaikh Ali al-Khawas. Maka umurnya saat sekarang pada tahun 958 adalah 703 tahun. Imam Ramli menyebutkan bahwa Imam Mahdi telah maujud demikian pula As-Sya’rani [3]
I’tiqad kemunculan Imam Mahdi ini berdasarkan hadits-hadits yang mencapai tingkat mutawatir sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy di atas. Di bawah ini pernyataan para ulama mengenai kedudukan hadits mengenai Imam Mahdi, antara lain :
1.      Ibnu Hajar al-Haitamy sebagai disebut di atas, mengatakan :
Sebagian al-Imam mengatakan, telah mutawatir dan masyhur kabar dengan sebab banyak riwayatnya dari Nabi Mustafaa SAW bahwa akan muncul Mahdi”

2.     Abu ‘Ali Muhammad al-Mubarakfury mengatakan bahwa hadits-hadits yang membicarakam kemunculan Imam Mahdi, jumlahnya mencapai derajat mutawatir yang diriwayat oleh imam-imam hadits diantaranya Abu Daud, Turmidzi, Ibnu Majah, al-Bazar, al-Hakim, Thabrany dan Abu Ya’la al-Mushily. Hadits-hadits tersebut diisnad kepada sejumlah sahabat Nab seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Thalhah, Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas, Abu Sa’id al-Khudry, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Tsauban, Qurrah bin Ibas, Ali al-Hilaly dan Abdullah bin al-Harits bin Jaza’[4].

3. Menurut al-Syaukani jumlah hadits mengenai kemunculan Imam Mahdi telah mencapai derajat mutawatir, yaitu lima puluh hadits dan jumlah atsar mencapai dua puluh delapan.[5]
            Diantara hadits-hadits mengenai kemunculan Imam Mahdi adalah :
1. Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda :  
لاتذهب الدنيا حتى يملك العرب رجل من اهل بيتي يواطئ اسمه اسمي
ِArtinya : Tidak hilang dunia ini sehingga mengusai Arab oleh seorang laiki-laki dari pada kerabatku, yang namanya sama dengan namaku. (H.R. Turmidzi)[6]

Al-Hafizh Abu ‘Ali Muhammad al-Mubarakfury dalam mengomentari hadits ini mengatakan :
Tidak diragukan lagi bahwa hadits Abdullah bin Mas’ud yang diriwayat oleh Turmidzi dalam bab ini tidak turun dari derajat hasan. Untuk hadits ini banyak pendukungnya, baik kualifikasinya hasan atau dha’if. Oleh karena itu, hadits Abdullah bin Mas’ud ini dengan pendukung-pendukung dan thawaabi’nya patut menjadi menjadi hujjah tanpa ragu. Maka pendapat keluar dan kemunculan Imam Mahdi adalah pendapat yang haq dan benar.”[7]

2. Dari Ummu Salamah, beliau berkata, aku mendengar Rasuluulah SAW bersabda :
المهدي من عترتي من ولد فاطمة
Artinya : Al-Mahdi adalah dari keturunanku dari anak Fatimah. (H.R. Abu Daud)[8]

3. Dari Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah SAW bersabda :
المهدي مني أجلى الجبهة أقنى الأنف يملأ الأرض قسطا وعدلا كما ملئت جورا وظلما ويملك سبع سنين
Artinya : Al-Mahdi adalah dariku, yang luas dahinya dan bungkuk hidungnya. Dia memenuhi bumi ini dengan kearifan dan keadilan sebagaimana dipenuhi dengan kefasikan dan kedzaliman. Al-Mahdi berkuasa selama tujuh tahun. (H.R. Abu Daud)[9]

Ada yang mengatakan bahwa imam Mahdi itu tidak lain adalah Nabi Isa yang akan turun di akhir zaman nanti dengan berpedoman kepada hadits :
لا مهدي إلا عيسى بن مريم
Artinya : Tidak ada Mahdi kecuali Isa bin Maryam (H.R. Ibnu Majah)

Al-Manawy menjelaskan bahwa hadits Mahdi tidak bertentangan dengan hadits “tidak ada mahdi kecuali Isa bin Maryam”,  karena maksud hadits ini sebagaimana pendapat al-Qurthubi adalah “tidak ada Mahdi yang sempurna dan ma’shum (terpelihara dari dosa) kecuali Isa.”[10] Lagi pula hadits ini, menurut Ibnu Hajar al-Haitamy adalah dha’if.[11]


[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Qaul al-Mukhtashar fii Alamaat al-Mahdi al-Muntadhar, Maktabah al-Quran, Kairo, Hal. 23
[2] Muhammad Amin al-Kurdy, Tanwir al-Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 62
[3] Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 296
[4] Abu ‘Ali Muhammad al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwazi, Darul Fikri, Beirut, Juz. VI, Hal. 484
[5] Abu ‘Ali Muhammad al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwazi, Darul Fikri, Beirut, Juz. VI, Hal. 485
[6] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 343, No. Hadits : 2331
[7] Abu ‘Ali Muhammad al-Mubarakfury, Tuhfah al-Ahwazi, Darul Fikri, Beirut, Juz. VI, Hal. 485
[8] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 509, No. Hadits : 4284
[9] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 509, No. Hadits : 4285
[10] Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Mauqa’ al-Ya’sub, Juz. VI, Hal. 362
[11] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Qaul al-Mukhtashar fii Alamaat al-Mahdi al-Muntadhar, Maktabah al-Qur’an, Kairo,  Hal. 23

Rabu, 07 Agustus 2013

Perintah dan iradah Allah


Perintah Allah berbeda dengan iradah-Nya. Perintah Allah tidak sinonim dengan iradah-Nya. Di dalam kitab akidah dijelaskan sebagai berikut :
1.      Allah kadang-kadang mengiradah sesuatu tetapi tidak memerintahnya, misalnya kufur yang terjadi pada orang-orang yang dalam ilmu Allah memang sudah diketahui-Nya, dia tidak akan beriman (Allah mengiradah kekufurannya) seperti kekufuran Abu Lahab, padahal Allah tidak memerintahkan kepada setiap hambanya kekufuran. Hal ini sesuai dengan firman Allah :
قُلْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji." Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (Q.S. Al-A’raf : 28)

dan Firman Allah

قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya : Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat, maka jika Dia (Allah) menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya".(Q.S. Al-An’am : 149)

2.      Kadang-kadang Allah memerintahkan sesuatu tetapi tidak mengiradahnya, misalnya iman pada orang-orang yang dalam ilmu Allah memang sudah diketahui-Nya dia tidak akan beriman. Padahal Allah memerintahnya untuk beriman. Dalilnya adalah firman Allah :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Q. S. Al-Isra’ : 23)

dan Firman Allah :

وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya : Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari pada-Ku: "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia sekalian”.(Q.S. As-Sajdah : 13)

3.      Allah kadang-kadang memerintah sesuatu dan mengiradahnya, misalnya iman orang-orang yang dalam ilmu Allah memang sudah diketahui-Nya dia beriman (Allah mengiradah keimanannya) seperti iman Abu Bakar r.a. dan Allah memerintah keimanan tersebut, sesuai dengan firman Allah :
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)
Artinya : Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (2), (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib), yang mendirikan shalat , dan menafkahkan sebahagian rezki  yang kami anugerahkan kepada mereka(3) Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat (4) Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung(5) (Q.S. al-Baqarah : 2-5)

dan firman Allah :
إِنْ هِيَ إِلَّا فِتْنَتُكَ تُضِلُّ بِهَا مَنْ تَشَاءُ وَتَهْدِي مَنْ تَشَاءُ أَنْتَ وَلِيُّنَا فَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الْغَافِرِينَ
Artinya : Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, Maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya .(Q. S. Al-A’raf : 155)

4.      Allah kadang-kadang tidak mengiradah dan tidak memerintah sesuatu, misalnya kufur kepada orang yang beriman, berdasarkan firman Allah :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Artinya : Dan kalau Allah menghendaki, niscaya dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. An-Nahl : 93)




Ya’juj wa Ma’juj


Kaum Ahlussunnnah wal Jama’ah mengi’tiqadkan bahwa Ya’juj dan  Ma’juj adalah dua kaum yang akan muncul pada saat mendekati hari kiamat nanti. Mereka ini akan membuat kejahatan, pembunuhan dan kerusakan di muka bumi ini. I’tiqad ini berdasarkan dalil-dalil berikut :
1.    Firman Allah SWT dalam

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا (92) حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْمًا لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا (93) قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا (94) قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا (95) آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوا حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ آتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا (96) فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا (97) قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا (98) وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا (99)
Artinya : Kemudian dia (Dzulkarnaian) menempuh suatu jalan (yang lain lagi)(92) Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.(93) Mereka berkata: "Hai Dzulkarnain, Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?(94). Dzulkarnain berkata: "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka,(95) Berilah aku potongan-potongan besi". hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulkarnain: "Tiuplah (api itu)". hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar aku kutuangkan ke atas besi panas itu".(96) Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.(97) Dzulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar". (98) Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, Kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu kami kumpulkan mereka itu semuanya,(99) (Q. S.  al-Kahfi : 92-99)

2. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :

وَحَرَامٌ عَلَى قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَنَّهُمْ لَا يَرْجِعُونَ (95) حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ(96)
Artinya : Sungguh tidak mungkin atas (penduduk) suatu negeri yang telah kami binasakan, bahwa mereka tidak akan kembali (kepada Kami). Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. .(Q.S. Al-Anbiya : 95-96)

            Berikut keterangan para ulama mengenai Ya’juj wa Ma’juj, antara lain :
1.      Dalam Tafsir Jalalain antara lain dijelaskan bahwa dua gunung dalam Q.S. al-Kahfi : 93 di atas berada di ujung Turki. Luas kawasan antara dua gunung itu dapat menutupi Negeri Iskandariah.1
2.      Dalam Tafsir Shawy 2 dijelaskan antara lain :
a.       bahwa penduduk yang bertemu dengan Dzulkarnaian itu adalah bangsa Turki dan Rum yang merupakan keturunan Yafits bin Nuh. Sedangkan Dzulkarnain adalah keturunan Sam bin Nuh
b.      Pengarang Tafsir Shawy selanjutnya mengutip pendapat ahli Sejarah yang mengatakan bahwa anak Nuh tiga orang, yaitu Saam, Haam dan Yafits. Keturunan dari Saam adalah ‘Ajam, Arab, Rum dan Keturunan Haam adalah Habyah, Zanj, Naubah. Sedangkan keturunan Yafits adalah Turki, Barbar, Shaqaliyah, Ya’juj dan Ma’juj.
c.       Ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa pada masing-masing gunung itu ada empat ribu umat yang tidak mati salah seorang diantara mereka sehingga melihat seribu laki-laki dari sulbinya, setiap mereka memegang senjata. Mereka ada beberapa kelompok, satu kelompok, panjangnya  seratus dua puluh hasta. Satu kelompok lain, panjang dan lebarnya sama, yaitu seratus dua puluh hasta. Satu kelompok lainnya lagi telinganya melebar dan melengket dengan telingan yang lainnya dan tidak bepergian dengan gajah, kuda dan babi kecuali mereka memakannya. Orang-orang mati di antara mereka dimakannya. Semua mereka itu adalah kafir dan Nabi SAW sudah pernah menyeru mereka supaya beriman pada malam Isra’, tetapi mereka tidak mau.
3. Baihaqi mengatakan :
telah lalu bahwa setelah keluar Mahdi, maka keluar Ya’juj wa Ma’juj, yaitu anak Adam dari Hawa, karena ada hadits marfu’ sesungguhnya Ya’juj wa Ma’juj adalah dari keturunan Nuh.3

3. Muqatil mengatakan mereka adalah adalah anak Yafits bin Nuh a.s. dan menurut al-Dhahak, Mereka adalah dari Turki 4
4. Berkata Imam ar-Ramli :
Menurut pendapat shahih Ya’juj wa Ma’juj adalah dari keturunan Adam dan Hawa, karena mereka anak dari Yafits bin Nuh. Ada cerita dari Ka’ab al-Ajbar bahwa Adam a.s. pernah bermimpi basah dan sperma beliau pada saat itu bercampur dengan tanah sehingga Adam berduka cita karenanya. Lalu Allah menciptakan mereka (Ya’juj wa Ma’juj) dari sperma tersebut. Maka mereka berhubungan dengan kita melalui pihak ayah tidak melalui pihak ibu. Ini pendapat adalah dhaif yang tidak boleh pegangi karena para Nabi a.s. tidak pernah bermimpi basah ”.5

5. At-Thabrany meriwayatkan dari hadits Huzaifah bin al-Yamaan r.a. Sesungguhnya Nabi SAW berkata :
Ya’juj adalah umat yang terdiri dari empat ratus amir demikian pula Ma’juj, tidak mati salah seorang dari mereka sehingga melihat seribu tentara berkuda yang berasal dari anaknya, satu kelompok dari mereka seperti Arz, panjangnya seratus dua puluh hasta dan satu kelompok lainnya dimana telinganya melebar dan saling berlengketan. Tidak mengenderai gajah dan babi kecuali mereka memakannya dan mereka juga memakan yang mati diantara mereka. Pada saat kaki mereka di Negeri Syam, lengan mereka berada di Khurasan minum air di sungai masyriq dan Danau Thabriyah. Allah mencegah mereka masuk Makkah, Madinah dan Baitul Muqaddis” 6

6. Imam Nawawi mengatakan :

“Menurut kebanyakan ulama sesungguhnya mereka adalah anak Adam dan Hawa. Ada yang mengatakan mereka itu anak Adam dari ibu yang bukan Hawa, maka mereka itu saudara kita sebapak. Tidak ada keterangan tentang ukuran umur mereka.7


--------------------------------------------------
1.       Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dicetak dalam Tafsir al-Shawi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. III, Hal. 26
2.       Al-Shawi, Tafsir al-Shawi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. III, Hal. 26
3.       Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Qaul al-Mukhtashar fii Alamaat al-Mahdi al-Muntadhar, Maktabah al-Qur’an, Kairo, Hal. 79
4.       Alwi bin Ahmad as-Saqaf, Kaukab al-Ajwab fi Ahkam al-Malaikat wal-Jin wal- Syayathin wa Ya’juj  wa Ma’juj, dicetak pada hamisy Sab’atun Kutubin Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 212
5.       Imam ar-Ramli, Fatawa Imam ar-Ramli, dicetak pada hamisy Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 213
6.       Alwi bin Ahmad as-Saqaf, Kaukab al-Ajwab fi Ahkam al-Malaikat wal-Jin wal- Syayathin wa Ya’juj  wa Ma’juj, dicetak pada hamisy Sab’atun Kutubin Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 212-213
7.       Alwi bin Ahmad as-Saqaf, Kaukab al-Ajwab fi Ahkam al-Malaikat wal-Jin wal- Syayathin wa Ya’juj  wa Ma’juj, dicetak pada hamisy Sab’atun Kutubin Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 213