Senin, 11 Maret 2024

‘Illah hukum harus dhahir dan terukur

 

‘Illah hukum merupakan salah satu rukun qiyas dan sangat dominan dalam menentukan sahnya sebuah qiyas. Karenanya, kajian tentang illah sangat penting untuk mengetahui apakah sebuah qiyas sah atau tidak, sehingga tidak heran pembahasan berkisar masalah ‘illah dalam qiyas lebih banyak dalam kitab-kitab ushul fiqh dibandingkan rukun qiyas lainnya. Devinisi ‘illah sebagaimana dikemukakan dalam kitab ushul fiqh adalah:

)الأصح )أنها (أي العلة) المعرف للحكم ( فمعنى كون الإسكار مثلاً علة أنه معرف أي علامة على حرمة المسكر

Menurut pendapat yang lebih shahih, ‘illah adalah yang memperkenalkan hukum. Karena itu, makna keadaan memabukkan merupakan ‘illah (sebagai contoh) adalah keadaan memabukan itu dapat memperkenalkan  atau menjadi tanda atas keharaman setiap benda yang memabukkan. (Ghayah al-Wushul).

 

Apabila kita menjadikan menyakiti sebagai ‘illah keharaman mengatakan “ah” kepada orangtua berdasarkan firman Allah :

فلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (Q.S. al-Isra’: 23)

 

Maka itu artinya kita menjadikan menyakiti sebagai tanda atas keharaman setiap bentuk sikap yang dapat menyakiti orangtua seperti memukul, mencubit, memarahinya dan lain-lain.

Ditinjau dari aspek substansinya, Zakariya al-Anshari mengklasifikasikan ‘illah kepada lima pembagian, yaitu:

1.   Washaf hakiki yang dhahir (tidak tersembunyi) dan terzhabith (terukur). Yang dimaksud dengan washaf hakiki di sini adalah

ما يتعقل في نفسه من غير توقف على عرف أو غيره.

Suatu sifat yang dapat tergambar dalam pikiran tentang substansinya tanpa tergantung kepada ‘uruf atau lainnya.

 

Contohnya makanan sebagai ‘illah ribawi.

2.   Washaf ‘urfi yang itthirad (tidak berubah dengan sebab perbedaan waktu). Sesuai dengan namanya, washaf ini dipahami tergantung pada ‘uruf yang berlaku. Karenanya, kadang-kadang washaf ‘urfi berubah seiring perubahan waktu dan tempat. Misalnya sifat mulia dan hina pada kafaah dalam pernikahan

3.   Washaf lughawiyah, yakni washaf berdasarkan penamaannya menurut lughat. Misalnya ‘illah pengharaman nabiiz (anggur) karena penamaannya sebagai khamar dalam Bahasa  Arab.

4.   Hukum syar’i, baik ma’lulnya (hukum yang diperkenalkan oleh ‘illah) hukum sya’r’i juga ataupun suatu perkara yang hakiki. Contoh yang pertama, menjadikan kebolehan menjual sesuatu milik bersama sebagai ‘illah kebolehan menggadainya. Contoh yang kedua, menjadikan keharaman menyentuh rambut dengan sebab terjadi thalaq dan halal dengan sebab nikah sebagai ‘illah ada kehidupan pada rambut sama halnya dengan tangan.

5.   Washaf yang murakkab (tersusun dari beberapa unsur). Misalnya menjadikan pembunuhan yang sengaja dan secara bermusuhan kepada orang yang setara sebagai  ‘illat wujud qishas. Ada empat unsur di sini, yaitu pembunuhan, faktor kesengajaan, dilakukan karena bermusuhan dan kesetaraan antara pembunuh dan yang terbunuh. Keempat unsur ini menjadi ‘illah bagi wujud qishas atas si pembunuh. (Ghayah al-Wushul).

Beberapa catatan tentang pembagian di atas

1.   Dhahir dan terukur (terdhabith) merupakan syarat ‘illah dalam semua pembagiannya, bukan hanya menjadi syarat bagi washaf hakiki (pembagian pertama) sebagamana dhahir kalam pengarang Ghayah al-Wushul di atas. Karena itu, Syeikh al-‘Ithar dalam Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’ mengatakan,

وَلَمْ يُقَيِّدْهُ وَمَا بَعْدَهُ بِكَوْنِهِ ظَاهِرًا مُنْضَبِطًا؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ إلَّا كَذَلِكَ

Pengarang tidak mengqaidkan pembagian washaf ‘urfi dan pembagian sesudahnya bahwa  keadaannya dhahir dan terdhabith, karena pembagian-pembagian tersebut tidak ada kecuali demikian adanya (dhahir dan terdhabith) (Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’: II/275)

 

2.   Sebagaimana dikemukakan di atas, ‘illah hukum harus bersifat dhahir. Artinya sebuah washaf yang tersembunyi (khafaa’) tidak dapat menjadi ‘illah sebuah hukum. Para ulama menafsirkan makna khafaa’ di sini dengan makna:

مَا لَا يُمْكِنُ الِاطِّلَاعُ عَلَيْهِ

Sesuatu yang tidak memungkinkan diketahui.

 

Contoh washaf tersembunyi adalah keridhaan dalam akad. Pemindahan hak milik dalam suatu jual beli didasarkan kepada keridhaan antara dua pihak  berdasarkan hadits Nabi SAW:

إنَّما البيعُ عن تراضٍ

Jual beli hanya berdasarkan saling meridhai (H.R. Ibnu Majah)

 

Namun kita tidak dapat menggantungkan keabsahan jual beli tersebut kepada washaf keridhaan pihak-pihak. Karena keridhaan adalah suatu sifat yang tersembunyi dalam hati-hati masing-masing pihak yang tidak mungkin diketahui oleh pihak lain. Karena itu, keabsahan jual beli harus digantungkan kepada suatu washaf lain yang dhahir dan terdhabith yang diduga mengandung washaf keridhaan tersebut (madhinnah), yaitu lafazh ijab qabul yang dapat didengar oleh pihak-pihak yang berakad.

Namun al-Zarkasyi mengkritik devinisi ini. Menurut beliau, seandainya yang menjadi maksudnya adalah sesuatu yang tidak memungkinkan diketahui sama sekali, baik dengan i’tibar dirinya sendiri ataupun dengan i’tibar washaf lain yang dapat menjadi petunjuk kepadanya (madhinnahnya), maka bagaimana bisa membenarkan menjadikannya sebagai tanda pengenal (amaarah) hukum, baik dengan i’tibar sendirinya ataupun dengan i’tibar madhinnahnya. Ada penafsiran lain atas devinisi di atas, yaitu dengan maksud tidak memungkinkan diketahui dengan i’tibar washaf itu sendiri, akan tetapi dimungkinkan diketahuinya dengan i’tibar washaf lain (menjadi ‘illah) yang memberi petunjuk kepada adanya washaf tersebut. Namun al-Zarkasyi mengatakan, apabila maksudnya seperti yang kedua ini, maka kritikan di atas dianggap kecil dan sepele. Karena yang tidak memungkinkan diketahui hanya dengan i’tibar dirinya sendiri, akan tetapi masih memungkinkan mengetahuinya dengan memperhatikan atsarnya (gejala-gejalanya). (Lihat: al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh: VII/170-171)

Disamping penafsiran di atas, ada penafsiran lain terhadap makna khafaa’ (tersembunyi) dalam bab ‘illah hukum, yaitu suatu washaf yang tidak dapat diketahui dengan indera dhahir manusia. Penafsiran seperti ini dapat dipahami dari beberapa kitab ushul fiqh karya ulama kontemporer seperti dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf. Dalam kitab ini beliau menjelaskan:

ومعنى ظهوره أن يكون محسا يدرك بحاسة من الحواس الظاهرة؛ لأن العلة هي المعرف للحكم في الفرع فلا بد أن تكون أمرا ظاهرا يدرك بالحس في الأصل ويدرك بالحس وجوده في الفرع

Pengertian washaf dhahir adalah washaf tersebut dapat diketahui dengan indera dhahir, karena ‘illah adalah pengenal hukum pada furu’. Karena itu diharuskan merupakan sesuatu yang dhahir yang dapat diketahui dengan indera pada ashal dan juga dapat diketahui keberadaannya dengan indera pada furu’.

 

Kemudian beliau melanjutkan:

لهذا لا يصح التعليل بأمر خفي لا يدرك بحاسة ظاهرة؛ لأنه لا يمكن التحقق من وجوده ولا عدمه

Karena itu, tidak sah menjadi ‘illah dengan suatu yang tersembunyi, yang tidak dapat diketahui dengan indera dhahir. Karena tidak dapat dipastikan wujudnya dan juga tidak adanya.

 

Berdasarkan kriteria ini, ‘Abdul Wahab Khalaf menyebut beberapa contoh berikut ini:

a.    nuthfah suami yang ada dalam rahim isterinya tidak dapat menjadi ‘illah hukum penetapan nasab, akan tetapi dikembalikan illahnya kepada madhinnahnya yang dhahir, yaitu akad pernikahan yang shahih.

b.   Saling ada keridhaan dalam jual beli tidak dapat menjadi ‘illah hukum pemindahan hak milik dalam perkara pertukaran harta, akan tetapi dikembalikan ‘illahnya kepada madhinnah dhahirnya, yaitu ijab dan qabul

c.   Sempurna akal tidak dapat menjadi ‘illah hukum mencapai akil baligh seseorang, akan tetapi dikembalikan kepada madhinnah dhahirnya, yaitu berumur seseorang anak 15 tahun atau muncul tanda-tanda baligh sebelum berumur 15 tahun. (Ilmu Ushul Fiqh: 66)

 

Pengertian dhahir ‘illat sebagaimana dikemukakan ‘Abdul Wahab Khalaf juga dikemukakan Wahbah al-Zuhaili dalam kitab beliau, Ushul Fiqh al-Islami berikut ini:

ومعنى ظهورالعلة كما عرف سابقا أن تكون مدركة بحاسة من الحواس الظاهرة

Pengertian dhahir ‘illah sebagaimana devinisi sebelumnya adalah ‘illah tersebut dapat diketahui dengan salah satu indera yang lima. (Ushul Fiqh al-Islami: I/654)

 

3.   Terdhabith dapat diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan makna terukur, yakni tidak berbeda dengan sebab perbedaan orang yang mengalaminya sebab pengaruh waktu dan kondisi yang berbeda-beda. Pengarang Hasyiah al-‘Ithar mengatakan,

)قَوْلُهُ: مُنْضَبِطًا (أَيْ لَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَفْرَادِ

Perkataan pengarang: “mundhabith”, maknanya tidak berbeda dengan sebab perbedaan contoh kasusnya.

 

Seterusnya beliau mengatakan,

فَخَرَجَ الْمَشَقَّةُ بِالنَّظَرِ إلَى الْقَصْرِ وَالْفِطْرِ فَلَا يُعَلَّلُ بِهِ بَلْ يُعَلَّلُ بِالْمُسافةِ 

Karena itu, kesukaran tidak termasuk ‘illah untuk qashar shalat dan berbuka puasa. Akan tetapi ‘illah untuknya adalah jarak perjalanan.

(Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’ul Jawami’: II/257)

 

Menjadikan jarak perjalanan sebagai ‘illah kebolehan qashar shalat dan berbuka puasa, karena jarak perjalanan merupakan ukuran yang jelas (dhahir) dan terdhabith, dimana dalam ukuran jarak perjalanan tersebut berpotensi terjadi kesukaran.

4.   Berdasarkan uraian point 3 di atas, maka hikmah tidak boleh menjadi ‘illah hukum kalau memang hikmah tersebut tidak memenuhi kriteria ‘terdhabith’. Zakariya al-Anshari mengatakan,

(ولا يجوز في الأصح كونها الحكمة إن لم تنضبط) كالمشقة في السفر لعدم انضباطها، فإن انضبطت جاز كما رجحه الآمدي وابن الحاجب وغيرهما لانتفاء المحذور،

Menurut pendapat yang lebih shahih tidak boleh keadaan ‘illat itu berupa hikmah jika hikmah tersebut tidak terukur (terdhabith) seperti kesukaran dalam musafir, karena kesukarannya tidak dapat diukur. Karena itu, jika hikmah tersebut terukur, maka boleh menjadi ‘illah sebagaimana tarjih al-Aamadiy, Ibnu al-Haajib dan lainnya karena tidak ada yang perlu dihindari. (Ghayah al-Wushul: 121).

 

Wallahua’lam bisshawab

Minggu, 25 Februari 2024

Hukum nadzar ketika 'turun mandi anak', anak tersebut keluar lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah.

 

Assalamualaikum wr. wb

Mohon penjelasan syariat Islam tentang nadzar dan hukum menunaikan jika bentuk nadzar tidak ada unsur pendekatan kepada Allah atau bahkan dilarang agama. Ada kasus nazar, jika dikarunia anak, di sembelih kambing di tengah mesjid. Ini kan bahaya, membuat tempat suci bernajis. Kedua mungkin unsur mubah, namun agak aneh, nadzar jika anak sehat dan tidak kurang sesuatu apapun, ketika 'turun mandi anak' keluar lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah. Terima kasih atas jawabannya

Wa’alaikumussalam wr.wb

Nadzar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nazar menurut pengertian syara’ adalah:

الْتِزَامُ قُرْبَةٍ لَمْ تَتَعَيَّنْ أَيْ شَأْنُهُ ذَلِكَ،

Mewajibkan menyanggupi melakukan qurbah (perbuatan taat kepada Allah) yang bukan merupakan hal fardhu ‘ain bagi seseorang, yakni substansinya bukan fardhu ‘ain. (Qalyubi ‘ala al-Syarh al-Mahalli: IV/289)

 

Nadzar ini terbagi dua macam, yaitu nadzar lajjaaj dan nadzar tabarrur.

1.   Nadzar lajaaj adalah nadzar yang muncul dari seseorang dalam kondisi marah bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, atau mencegah seseorang atau orang lain melakukan suatu hal, atau meyakinkan kebenaran sebuah kabar yang disampaikan oleh seseorang. Pengarang Tuhfah al-Muhtaj adalah:

وَهُوَ أَنْ يَمْنَعَ نَفْسَهُ أَوْ غَيْرَهَا مِنْ شَيْءٍ أَوْ يَحُثَّ عَلَيْهِ أَوْ يُحَقِّقَ خَبَرًا غَضَبًا بِالْتِزَامِ قُرْبَةٍ 

Yaitu seseorang dalam keadaan kondisi marah mencegah dirinya atau selain dirinya dari sesuatu atau memotivasi melakukan sesuatu ataupun meyakinkan kebenaran sebuah berita dengan cara membenani dirinya dengan suatu qurbah (perbuatan taat).

 

Contoh nadzar lajaaj yang berupa pencegahan, seperti ketika seseorang mengatakan “Jika aku berbicara lagi dengan fulan, maka karena Allah, atasku  puasa satu hari”. Nadzar ini dimaksudkan agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan fulan. Sebab jika ia melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban melaksanakan puasa. Sehingga nadzar ini dimaksudkan agar seseorang tercegah untuk melakukan suatu hal yang tidak ia senangi. Adapun contoh bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, seperti seseorang mengatakan, “Jika aku tidak berbicara lagi dengan fulan, maka karena Allah, atasku puasa satu hari”. Nadzar ini dimaksudkan agar dirinya termotivasi tetap berhubungan dengan fulan. Sebab jika ia tidak melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban melaksanakan puasa. Sedangkan contoh nadzar lajaaj yang bertujuan untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang, misalnya seseorang setelah mengabarkan suatu berita pada orang lain mengatakan “Jika kabar yang aku sampaikan ini tidak benar, niscaya wajib bagiku untuk berpuasa satu hari”. Dengan ucapan ini, orang yang diajak bicara diharapkan akan merasa yakin atas kebenaran berita yang disampaikan olehnya.

Terjadi perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyah terhadap konsekwensi hukum akibat pelanggaran nadzar lajaaj ini antara membayar kifarat sumpah atau membayar sesuai dengan yang telah dibebankan kepada dirinya atau bebas memilih keduanya. Namun menurut Imam al-Nawawi dan pendapat yang ditarjih oleh ulama Iraq, pendapat yang dianggap lebih dhahir adalah memilih antara keduanya, yaitu boleh membayar kifarat dan juga boleh membayar sesuai dengan yang telah dibebankan kepada dirinya. Karena dari sisi membebankan qurbah, nadzar lajaaj menyerupai nadzar, sedang dari sisi tujuannya menyerupai tujuan sumpah. Perbedaan pendapat di atas apabila yang dibebani dalam nadzar lajaaj tersebut merupakan suatu qurbah. Adapun apabila bukan suatu qurbah, maka wajib membayar kifarat sumpah. Pengarang Tuhfah al-Muhtaj mengatakan,

أَمَّا إذَا الْتَزَمَ غَيْرَ قُرْبَةٍ كَلَا آكُلُ الْخُبْزَ فَيَلْزَمُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ بِلَا نِزَاعٍ

Adapun pembebanan dirinya dengan yang bukan qurbah seperti “Tidak akan aku makan roti”, maka wajib atasnya kifarat sumpah tanpa khilaf.

 

2.   Nadzar tabarrur sebagaimana dikemukakan pengarang Tuhfah al-Muhtaj adalah:

)وَنَذْرُ تَبَرُّرٍ) سُمِّيَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لِطَلَبِ الْبِرِّ أَوْ التَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى (بِأَنْ يَلْتَزِمَ قُرْبَةً) أَوْ صِفَتَهَا الْمَطْلُوبَةَ فِيهَا كَمَا يَأْتِي آخِرَ الْبَابِ (إنْ حَدَثَتْ نِعْمَةٌ) تَقْتَضِي سُجُودَ الشُّكْرِ كَمَا يُرْشِدُ إلَيْهِ تَعْبِيرُهُمْ بِالْحُدُوثِ (أَوْ ذَهَبَتْ نِقْمَةٌ) تَقْتَضِي ذَلِكَ أَيْضًا،

Nadzar tabarrur  adalah mewajibkan menyanggupi melakukan suatu qurbah atau sifat qurbah yang ada tuntutan sebagaimana nantinya di akhir bab, jika datang suatu nikmat yang mengakibatkan disyariatkan sujud syukur sebagaimana ‘ibarat para ulama dengan perkataan “al-huduts” ataupun hilang suatu yang dibenci yang juga mengakibatkan sujud syukur.

(Lihat: Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/69-71)

 

Nadzar tabarrur ini terbagi kepada dua macam, yakni nazar munajjaz, yaitu nadzar yang sifatnya mutlaq dilakukan tanpa mengaitkannya dengan keberhasilan melakukan sesuatu dan nadzar mu’allaq, yaitu nazar yang mengaitkannya dengan keberhasilan melakukan sesuatu. Nadzar munajjaz wajib dipenuhi seketika itu juga begitu lafazh nadzar diucapkan. Adapun nazdar mu’allaq wajib dipenuhi nadzarnya apabila keadaan yang dikaidkan dalam nadzarnya itu menjadi kenyataan. Nabi SAW bersabda:

مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ.

Siapa yang bernadzar ketaatan kepada Allah, hendaknya dia melakukan ketaatannya. Dan siapa yang bernadzar melakukan kemaksiatan, maka jangan melakukan kemaksiatannya (H.R. Bukhari)

 

Nadzar dengan suatu yang mubah

Para ulama menyatakan bahwa jika seseorang bernazar dengan perbuatan yang mubah seperti “Jika aku lulus UN, maka aku akan makan lontong,” maka hukum nazarnya tidak sah dan tidak memiliki akibat apa-apa. Hal tersebut berdasarkan hadis riwayat Abu Daud:

لَا نَذْرَ إلَّا فِيمَا اُبْتُغِيَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ تَعَالَى

Tidak ada nazar kecuali untuk hal-hal yang bertujuan mencari keredhaan Allah SWT. (H.R. Abu Daud)

 

Oleh karena itu, jika seseorang terlanjut bernadzar dengan perbuatan yang mubah, maka menurut pendapat yang kuat, ia tidak wajib menunaikan apa yang ia nadzarkan. Dan jika nadzar yang mubah saja tidak sah, maka apalagi nadzar dengan yang makruh atau maksiat.  Pengarang Tuhfah al-Muhtaj mengatakan,

)وَلَوْ نَذَرَ فِعْلَ مُبَاحٍ أَوْ تَرْكَهُ) كَأَكْلٍ وَنَوْمِ مِنْ كُلِّ مَا اسْتَوَى فِعْلُهُ وَتَرْكُهُ أَيْ: فِي الْأَصْلِ وَإِنْ رَجَّحَ أَحَدَهُمَا بِنِيَّةِ عِبَادَةٍ بِهِ كَالْأَكْلِ لِلتَّقَوِّي عَلَى الطَّاعَةِ (لَمْ يَلْزَمْهُ)

Jika seseorang bernadzar dengan melakukan suatu perbuatan mubah atau meninggalkannya seperti makan, tidur atau setiap yang asalnya sama nilainya antara melakukannya dan meninggalkannya, meskipun bisa lebih utama dengan sebab niat ibadah seperti makan dengan tujuan berbuat taqwa kepada ketaatan, maka tidak wajib melakukan apa yang menjadi nadzarnya itu. (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/81)

 

Qaidah fiqh berbunyi:

ما ثبت بالشرع مقدم على ما ثبت بالشرط

Sesuatu yang ditetapkan dengan syara’ lebih didahulukan dari yang ditetapkan dengan syarat (penetapan manusia)

 

Namun para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat apakah wajib kifarat sumpah apabila menyalahi nadzarnya tersebut. Namun pendapat mu’tamad (yang menjadi pegangan) tidak ada kifarat secara mutlaq. Pendapat ini telah dibenarkan Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan dinyatakan shahih dalam Raudhah. (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/81)

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan di atas dapat dijawab sebagai berikut:

1.   Kasus nadzar “jika anak sehat ketika 'turun mandi anak', anak tersebut keluar rumah lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah”, hukum nadzarnya tidak sah. Karena keluar rumah lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah tidak termasuk qurbah, hanya perbuatan mubah saja. Di atas telah dijelaskan, nadzar dengan suatu yang mubah, hukum nadzarnya tidak sah.

2.   Kasus nadzar jika dikarunia anak, maka disembelih kambing di tengah masjid, hukumnya tidak sah, bahkan menjadi haram melepas nadzar tersebut. Karena syara’ melarang melakukan sesuatu perbuatan yang mengakibatkan bernajis rumah Allah (masjid).

Wallahua’lam bisshawab

Jumat, 26 Januari 2024

Tata cara tayamum saat ada luka yang diperban

 

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Tgk,, saya mau nanya terkait hukum fiqih tentang mandi junub. Pada satu kejadian, bilamana seseorang dalam kondisi sakit dengan kaki diperban karena sebab operasi atau luka, dan mendapati dirinya dalam keadaan junub (semisalnya mengalami mimpi basah). lalu bagaimana dia mensucikannya? bolehkah dia tayamum atau tetap mandi dengan mengguyur air ke seluruh badannya?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. Wb.

Sebagaimana dimaklumi dalam fiqh, apabila seseorang dalam keadaan berjunub, maka wajib atasnya mandi hadats besar dengan membasuh seluruh tubuhnya. Apabila seseorang masih dalam keadaan berjunub haram atasnya (juga tidak sah) melakukan shalat, thawaf dan lainnya. Lalu muncul pertanyaan sebagaimana di atas, bilamana seseorang dalam kondisi sakit dengan kaki diperban karena sebab operasi atau luka, dan mendapati dirinya dalam keadaan junub. Apa yang harus dilakukannya?. Jawabannya adalah sebagai berikut:

1.   Jika dilepaskan perban tersebut dapat mendatangkan kemudharatan seperti  cacat, lambat sembuh, bertambah sakit atau kemudharatan lainnya, maka kewajiban mandi karena junub tetap wajib dilaksanakan sebatas yang memungkinkan. Karena itu, wajib membasuh semua anggota tubuh yang tidak luka (bagian tubuh yang sehat)

2.   Kemudian usap dengan tangan yang basah atas perban sebagai ganti membasuh anggota tubuh yang luka

3.   Kemudian bertayamumlah dengan mengusap debu pada wajah dan tangan sebagaimana diatur dalam bab tayamum. Tayamum ini sebagai ganti membasuh anggota tubuh yang sehat yang ditutupi perban. (menutup luka dengan perban tentunya juga akan menutupi sebagian tubuh yang sehat).

Zainuddin al-Malibari mengatakan,

وإذا امتنع استعماله في عضو وجب تيمم وغسل صحيح ومسح كل الساتر الضار نزعه بماء، ولا ترتيب بينهما لجنب.

Apabila terhalang menggunakan air pada satu anggota tubuh, maka wajib tayamum dan membasuh anggota yang sehat serta mengusap dengan air setiap bagian pembalutnya yang mendatangkan mudharat apabila dilepaskannya. Tidak ada tertib antara membasuh dan tayamum bagi yang  berjunub (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

Yang dimaksud dengan pembalut anggota tubuh (saatir) di sini mencakup jabirah (kayu yang dibuat secara khusus untuk membalut anggota tubuh yang patah), plester luka, saleb, perban dan sejenisnya. Abu Bakar Syatha, pengarang I’anah al-Thalibin dalam menjelaskan pengertian saatir di atas, mengatakan,

والساتر كجبيرة، وهي أخشاب أو قصب تسوى وتشد على موضع الكسر ليلتحم، وكلصوق ومرهم وعصابة.

Saatir (pembalut) adalah seperti jabirah yaitu kayu atau rotan yang dibuat rapi kemudian diikat pada anggota tubuh yang patah agar dapat merapat kembali dan seperti plester luka, saleb dan perban. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

4.   Apabila perban terdapat pada anggota tayamum, maka tidak wajib mengusap debu atas perban dan memadai pada bagian lain yang sehat saja. Jalaluddin al-Mahalli dalam penjelasannya mengatakan,

وَاحْتَرَزَ بِمَاءٍ عَنْ التُّرَابِ فَلَا يَجِبُ مَسْحُهَا بِهِ إذَا كَانَتْ فِي مَحَلِّ التَّيَمُّمِ

Debu tanah dikecualikan dari hukum air. Karena itu, tidak wajib mengusap pembalut dengan debu apabila pembalut tersebut berada pada anggota tayamum. (Qalyubi ‘ala Syarh al-Mahalli: I/97)

 

Kemudian berikut ini beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:

1.   Apabila perban terdapat pada anggota tayamum (wajah dan tangan), maka shalatnya wajib diulangi kembali ketika sehat. Karena  mandi dan tayamum, kedua-duanya tidak sempurna

2.   Apabila perban tidak terdapat pada anggota tayamum, akan tetapi perban tersebut menutupi anggota yang sehat dalam ukuran melebihi yang diperlukan sebagaimana biasanya kita lihat pada pasien di rumah sakit kita , maka shalatnya juga wajib diulangi kembali ketika sehat

3.   Demikian juga shalatnya wajib diulangi Kembali ketika sehat apabila seseorang pada saat meletakkan perban pembalut luka dalam keadaan berhadats. Ini berbeda halnya apabila seseorang dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar saat diletakkan perban, kemudian datang junub, maka dalam kondisi ini, tidak perlu lagi mengulangi shalatnya dan memadai dengan shalat yang sudah dilakukan saat ada perban pada anggota tubuhnya.

Penjelasan di atas dapat diperhatikan dari keterangan berikut ini:

واعلم أن الساتر إن كان في أعضاء التيمم وجبت إعادة الصلاة مطلقا لنقص البدل والمبدل جيمعا، وإن كان في غير أعضاء التيمم فإن أخذ من الصحيح زيادة على قدر الاستمساك وجبت الإعادة، سواء وضعه على حدث أو وضعه على طهر وكذا تجب إن أخذ من الصحيح بقدر الاستمساك ووضعه على حدث،

Ketahuilah, sesungguhnya pembalut anggota tubuh yang sakit itu jika ada pada anggota tayamum, maka shalatnya wajib diulangi kembali secara mutlaq (baik pada saat perban diletakkan pada anggota sakit dalam keadaan berhadats atau tidak), karena tidak sempurna semuanya , yaitu pengganti (tayamum) dan yang diganti (mandi). Adapun jika pembalutnya tidak berada di atas anggota tayamum, akan tetapi menutupi anggota yang sehat melebihi ukuran yang diperlukan untuk mengokohkan pembalut tersebut, maka shalatnya wajib diulangi kembali, baik pembalut diletakkan dalam keadaan berhadats atau suci. Demikian juga wajib mengulangi shalatnya jika pembalut menutupi anggota yang sehat dalam ukuran yang diperlukan untuk mengokohkan pembalut tersebut, namun diletakkannya dalam keadaan berhadats. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

4.   Orang yang bertayamum hanya dapat menggunakan satu tayamumnya untuk satu shalat fardhu dan beberapa shalat sunnah. Karena itu, jika seseorang mau melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka wajib tayamum lagi. Dalam penjelasan selanjutnya, Zainuddin al-Malibari mengatakan,

ولا يصلي به إلا فرضا واحدا ولو نذرا

Seseorang tidak melaksanakan shalat dengan tayamum kecuali satu fardhu, meskipun dalam bentuk shalat nadzar. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

Wallahua’lam bisshawab