Sabtu, 20 April 2024

Qiyas al-‘akas dalam berargumentasi

 

Salah satu metode berargumetasi (istidlal) yang dibahas dalam ushul fiqh adalah qiyas al-‘akas. Dalam kitab Ghayah al-Wushul, Zakariya al-Anshari mendevinisikan qiyas al-‘akas sebagai berikut:

وهو إثبات عكس حكم شيء لمثله لتعاكسهما في العلة

Yaitu menetapkan lawan dari hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum. (Ghayah al-Wushul: 144)

 

Al-Zarkasyi dalam menjelaskan qiyas al-‘akas mengatakan,

النَّوْعُ الثَّالِثُ قِيَاسُ الْعَكْسِ وَهُوَ إثْبَاتُ نَقِيضِ الْحُكْمِ فِي غَيْرِهِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ، كَذَا عَرَّفَهُ صَاحِبُ الْمُعْتَمَدِ وَالْأَحْكَامِ وَغَيْرِهِمَا

Pembagian ketiga dari qiyas adalah qiyas al-‘akas, yaitu menetapkan lawan hukum pada selainnya karena berbeda keduanya pada ‘illah hukum. Demikian telah didevinisikannya oleh pengarang kitab al-Mu’tamad dan kitab al-Ahkam dan juga selain keduanya. (Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60)

 

Dalam narasi yang lebih mudah dipahami, qiyas al-‘akas adalah sebuah qiyas dimana metode istidlalnya dengan cara menetapkan lawan dari hukum sesuatu pada kasus yang lain karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum.

Contoh qiyas al-‘akas yang sering dikemukakan para ulama adalah riwayat yang mencerita para sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW:

قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala. (H.R. Muslim)


Dalam hadits ini, dalam rangka menjawab pertanyaan para sahabat, Rasulullah SAW membandingkan kasus memenuhi syahwat yang halal kepada kasus memenuhi syahwat yang haram. Artinya jika syahwat yang haram mendapat dosa karena haramnya, maka memenuhi syahwat yang halal akan mendapatkan pahala, karena halalnya. Berlawanan hukum dalam dua kasus ini karena berlawanan ‘illah hukum keduanya, yaitu yang satu haram sedangkan yang satu lagi adalah halal. Ini dinamakan sebagai qiyas al-‘akas dalam pembahasan istidlal dalam ushul fiqh. (Ghayah al-Wusul: 135)


Contoh lain qiyas al-‘akas terdapat dalam ucapan Ibnu Mas’ud r.a berikut ini:

قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم: من مات لا يشرك باللَّه شيئًا دخل الجنة وأنا أقول: من مات يشرك باللَّه شيئًا دخل النار

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga. Aku (Ibnu Mas’ud) mengatakan, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk neraka.

 

Ibnu Hajar al-Haitamiy telah menjadikan ucapan Ibnu mas’ud r.a. di atas sebagai contoh qiyas al-‘akas.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 440). Disebut sebagai qiyas al-‘akas, karena di sini Ibnu Mas’ud r.a telah mengambil kesimpulan seseorang akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah dan beliau berargumentasi  dengan  sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga”. Jika seseorang bisa masuk surga dengan sebab tidak menyekutukan Allah, maka ia juga bisa akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah. Perbedaan hukum antara keduanya karena berlawanan ‘illah hukumnya. Yang satu ‘illahnya karena tidak menyekutukan Allah, sedangkan yang satu lagi karena menyekutukan Allah.


Contoh lain lagi adalah firman Allah Ta’ala berbunyi:

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا

Seandainya pada langit dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, maka tentu keduanya telah binasa. (Q.S. al-Anbiya: 22).

 

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengajarkan kita berargumentasi dengan qiyas al-‘akas. Yakni jika ada tuhan selain Allah, maka kedua langit dan bumi pasti binasa. Karena itu, jika sekarang nampak dalam kasat mata kita bahwa langit dan bumi tidak binasa, maka hanya Allah satu-satunya tuhan sekalian alam ini. Hukum keduanya berbeda, yang pertama ada tuhan selain Allah dan yang kedua, Allah satu-satunya tuhan sekalian alam. Perbedaan ini didasari karena ‘illahnya berbeda. Yakni ‘illah hukum yang pertama adalah telah binasa langit dan bumi, sedangkan ‘illah hukum yang kedua tidak binasa langit dan bumi. Contoh ini telah disebut sebagai qiyas al-‘akas oleh al-Zarkasyi.(Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60).


Termasuk dalam contoh qiyas al-‘akas adalah kesimpulan wajib qadha shalat seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu jika meninggalkannya pada waktu tersebut, jika kesimpulan ini dipahami dari perkataan yang dikemukakan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا

Jika seorang perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Perkataan Imam al-Suyuthi ini menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya  tersebut dengan cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.

Perbedaan pendapat ulama dalam menggunakan qiyas al-‘akas dalam berargumentasi

Terjadi perbedaan ulama terkait keabsahan qiyas al-‘akas sebagai salah satu metode berargumentasi (istidlal). Namun sesuai dengan tarjih kebanyakan para ulama ushul fiqh dan para fuqaha, qiyas al-‘akas ini adalah metode berargumentasi (istidlal) yang shahih dalam menetapkan suatu hukum fiqh. Berikut ini penjelasan beberapa ulama tentang ini:

1.   Pernyataan Zakariya al-Anshari:

(و) دخل فيه (في الأصح قياس العكس)

Menurut pendapat yang lebih shahih, qiyas al-‘akas termasuk metode istidlal (Ghayah al-Wushul:144)

 

2.   Pernyataan Ibnu Hajar al-Haitamiy:

ومخالفةُ بعض الأصوليين في قياس العكس ضعيفٌ،

Penolakan qiyas al-‘akas oleh sebagian ulama ushul adalah dhaif (.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 441)

 

3.   Pernyataan Imam al-Nawawi:

وَاخْتَلَفَ الْأُصُولِيُّونَ فِي الْعَمَلِ بِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ دليل لِمَنْ عَمِلَ بِهِ وَهُوَ الْأَصَحُّ

Terjadi perbedaan pendapat para ulama ushul dalam hal mengamalkan qiyas al-‘akas. Hadits ini (hadits pada contoh pertama di atas) merupakan dalil bagi orang yang mengamalkannya. Pendapat ini merupakan pendapat yang lebih shahih. (Syarah Muslim: VII/92)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

Menggunakan obat penunda haidh untuk ibadah haji/umrah dan puasa Ramadhan

 

Sebagian dari rukun haji atau umrah mengharuskan seorang perempuan suci dari haidh (menstruasi) karena ia harus tawaf dan sa’i di lingkungan Masjidil Haram. Belum lagi ketika seseorang berada di Madinah. Ia harus menggunakan kesempatannya untuk beribadah di Masjid Nabawi. Pada zaman sekarang, sudah ma’ruf di kalangan kaum perempuan yang akan berangkat haji atau umrah, mereka mesti mengonsumsi obat penunda haidh agar manasik mereka lancar di tanah suci. Karena jika tidak dikonsumsi, mereka akan kehilangan moment-moment ibadah penting kala itu. Bagaimana hukum Islam sendiri mengenai penggunaan obat penghalang haidh semacam ini? Demikian juga jika menggunakan obat penunda haidh demi untuk melaksanakan puasa Ramadhan.

Jawaban:

Pada dasarnya, usaha seorang perempuan menunda haidh dengan meminum obat tertentu hukumnya boleh dengan catatan tidak membahayakan bagi pelaku/pengguna dan ada izin dari suami apabila ia mempunyai suami. Dalam Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad disebutkan:

 وَفِي فَتَاوَى الْقِمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ  

Dan kesimpulan dalam Fatawa al-Qimath adalah boleh menggunakan obat-obatan untuk mencegah haidh.(Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad (dicetak pada hamisy Bughyah al-Musytarsyidin), Hal. 247)

 

Perlu izin suami karena menunda haidh dengan menggunakan obat tertentu berpotensi terputus atau tertunda keturunan.

Namun apakah jika haidh terputus karena minum obat akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh sebagaimana lazimnya?. Untuk menjawab ini kita kutip penjelasan Imam al-Nawawi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً للحيض فَحَاضَتْ لَمْ يَلزمها  القَضَاءُ

Jika seorang perempuan minum obat demi berhaidh, kemudian ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: III/ 10)

 

Hal yang sama juga dikemukan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا

Jika seorang perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Dua keterangan di atas menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya  tersebut dengan cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.

Apabila kita sepakat dengan kesimpulan di atas, dapat dipahami bahwa seorang perempuan yang terputus haidhnya karena meminum obat tertentu akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh. Dengan demikian, jawaban untuk kasus seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu demi dapat melaksanakan rukun haji atau umrah yang mengharuskannya suci dari haidh seperti tawaf dapat dibenarkan syara’. Demikian juga dalam kasus menunda haidh dengan minum obat demi melaksanakan puasa Ramadhan.

Adapun qaidah fiqh berbunyi:

مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ

Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan diberikan sanksi keharaman sesuatu tersebut atasnya.

 

Menurut penjelasan Imam al-Suyuthi, nyaris tidak ada kasus yang dapat dimasukkan dalam qaidah fiqh ini. Karena kebanyakan fiqh Syafi’iyah berbeda dengan kandungan qaidah ini. Dalam mengomentari qaidah ini, Imam al-Suyuthi mengatakan,

إذَا تَأَمَّلْت مَا أَوْرَدْنَاهُ عَلِمْت أَنَّ الصُّوَرَ الْخَارِجَةَ عَنْ الْقَاعِدَةِ أَكْثَرُ مِنْ الدَّاخِلَةِ فِيهَا. بَلْ فِي الْحَقِيقَةِ، لَمْ يَدْخُلْ فِيهَا غَيْرُ حِرْمَانِ الْقَاتِلِ الْإِرْثَ.

Apabila kamu memikirkan apa yang telah kami datangkan di sini (contoh-contohnya), maka kasus-kasus yang keluar dari qaidah ini lebih banyak dari yang masuk di dalamnya, bahkan pada hakikatnya tidak masuk dalam qaidah ini kecuali haram atas  sipembunuh warisan dari orang yang dibunuhnya.(al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Wallahu’alam bisshawab

Minggu, 31 Maret 2024

Tanqih al-Manath dalam kajian Ushul Fiqh

 

Secara bahasa, tanqih artinya: menyaring atau memilah. Sedangkan al-manath bermakna tempat diikatkan atau disangkutkan sesuatu. Yang dimaksud dengan al-manath di sini adalah illat yang menjadi tempat diikatkan atau disangkutkan suatu hukum. Adapun tanqih al-mananth adalah usaha untuk menyaring atau memilah dengan jalan ijtihad dari sekian kemungkinan ‘illah hukum yang ada, sehingga bisa ditentukan mana ‘illah hukum yang paling tepat. Tanqih al-manath ini termasuk salah satu metode penetapan ‘illah hukum (masaalik ‘illah) yang dikaji dalam Ushul Fiqh. Para ulama membagi tanqih al-manath ini dalam dua pembagian, yaitu:

1.   Ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari suatu sifat dan menjadikan aspek umumnya menjadi ‘illah hukum. Dalam menjelaskan pembagian ini, Zakariya al-Anshari mengatakan,

(التاسع) من مسالك العلة (تنقيح المناط بأن يدل نص ظاهر على التعليل) لحكم (بوصف فيحذف خصوصه عن الاعتبار بالاجتهاد ويناط) الحكم (بالأعم)

Yang ketujuh dari masaalik ‘illah adalah tanqih al-manath, yaitu ketika terdapat dalil secara dhahir menunjukkan illat sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari sifat tersebut dan menjadikan aspek umumnya menjadi illath hukum. (Ghayah al-Wushul: 133)

 

Misalnya kisah yang diceritakan oleh Abu Hurairah r.a, beliau mengatakan,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ketika kami sedang duduk bersama Nabi SAW tiba-tiba datang seorang laki-laki (seorang Arab Badui) lalu berkata: "Wahai Rasulullah, binasalah aku". Beliau bertanya: "Ada apa denganmu?". Orang itu menjawab: "Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa". Maka Rasulullah SAW bertanya: "Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?". Orang itu menjawab: "Tidak". Sejenak Nabi SAW terdiam. (H.R. Bukhari)

Di dalam hadits ini, Rasulullah SAW menetapkan hukum wajib membayar kafarat kepada a’rabi tersebut. Secara dhahir teks, ada beberapa sifat atau kriteria yang dimungkinkan menjadi illat atas hukum wajib kafarat;, yaitu:

a.    Melakukan jimak pada siang Ramadhan

b.    pelaku jimak yang a’rabi (Arab Badui)

c.     perempuan yang dijimak berstatus istri

d.    Jimak dilakukan di kemaluan qubul

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dalam memilah aspek-aspek yang disebut di dalam kandungan hadits di atas mengabaikan aspek khususnya dan mengambil aspek umumnya sebagai ‘illah hukum yaitu tindakan sengaja membatalkan puasa. Artinya, setiap tindakan sengaja membatalkan puasa baik dengan jimak atau yang lain mengakibatkan kewajiban kafarat. (Ghayah al-Wushul: 133). Mereka mengatakan, tidak ada perbedaan antara jimak dan lainnya seperti makan dan minum sebagai wasilah membatalkan puasa sebagaimana halnya wasilah pembunuhan, baik benda tajam atau benda tumpul yang berat. Karena itu, keduanya tetap mengakibatkan kewajiban kifarat apabila dengan sebabnya membatalkan puasa.

Contoh lain untuk pembagian ini sabda Nabi SAW berbunyi:

 لايحكم أحد بين اثنين وهو غضبان

Seseorang tidak memutuskan perkara antara dua orang yang bersengketa, sedangkan ia dalam keadaan marah (H.R. Bukhari)

 

Dalam memahami hadits ini, para ulama mengabaikan aspek khususnya, yaitu dalam keadaan marah dan mengambil aspek umumnya sebagai illah hukum, yaitu keadaan mengacaukan pikiran, baik disebabkan marah, sangat lapar atau haus ataupun dengan sebab lainnya. Sehingga seorang hakim makruh hukumnya memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah, sangat lapar ataupun haus.

Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala:

فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ

Apabila mereka (hamba sahaya perempuan) telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Q.S. al-Nisa’: 25)

 

Ayat ini menjelaskan kapada kita bahwa hamba sahaya perempuan yang berzina dikenakan hukum hudud setengah dari hukuman perempuan merdeka, yaitu lima puluh kali cambuk. Namun para ulama mengabaikan aspek khususnya, yaitu sifat keperempuanannya sebagai ‘illah hukum dan mengambil aspek umumnya, yaitu hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga yang dikenakan hukuman cambuk lima puluh kali bukan hanya hamba sahaya perempuan saja, akan tetapi juga hamba sahaya laki-laki dengan cara mengqiyaskan kepada hamba sahaya perempuan dengan ‘illah hukumnya sama-sama hamba sahaya.

2.   Ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi ‘illah hukum. Dalam menjelaskan pembagian yang kedua ini, Zakariya al-Anshari mengatakan,

)أو (بأن )تكون (في محل الحكم )أوصاف فيحذف بعضها (عن الاعتبار  بالاجتهاد )ويناط (الحكم )بباقيها(

atau terdapat beberapa sifat yang dimungkinkan menjadi ‘illah sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi ‘illah. (Ghayah al-Wushul: 133)

Misalnya, dalam memahami hadits di atas, Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i memilih hanya sifat jimak pada siang Ramadhan sebagai ‘illah hukum dan mengabaikan sifat-sifat yang lain yang disebut di atas. (Ghayah al-Wushul: 133). Adapun sifat-sifat yang lain diabaikan karena:

a.    Pelaku jimak yang a’rabi (Arab Badui). Sifat ini diabaikan karena hukum Islam berlaku universal, tidak mengkhususkan kepada suatu suku atau bangsa kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.

b.    Perempuan yang dijimak berstatus istri. Sifat ini diabaikan karena bersetubuh dengan bukan isteri malah dosanya lebih besar. Karena itu tidak mungkin syara’ hanya memberlakukan kewajiban kifarat hanya pada persetubuhan dengan isteri saja.

c.     Jimak dilakukan di kemaluan qubul. Sifat ini diabaikan, karena dosa bersetubuh di kemaluan dubur dosanya lebih besar dibandingkan jimak di qubul.

Sedangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan tidak memilih aspek umumnya sebagaimana halnya pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah di atas adalah sebagai berikut:

a.   Untuk menghadapi syahwat makan dan minum memadai dengan penetapan dosa bagi yang melakukannya di siang Ramadhan. Adapun syahwat jimak pada sebagian manusia disamping penetapan dosa, perlu dibaringi dengan hukuman di dunia dalam bentuk kifarat

b.   Kifarat disyari’atkan demi menghapus dosa maksiat. Maka atas orang yang mengugurkan puasanya dengan melakukan jimak, seharusnya layak atasnya diwajibkan kifarat. Ini berbeda dengan makan dan minum dimana syahwatnya lebih rendah dibandingkan syahwat jimak, maka upaya menahan diri dari makan dan minum di siang Ramadhan relatif  lebih mudah. Karenanya, tidak memadai demi menghapus dosanya dengan kifarat.

 

Wallahua’lam bisshawab

Kamis, 28 Maret 2024

Apakah makanan yang manis lebih utama untuk berbuka puasa

 

Banyak beredar di kalangan masyarakat yang mengira bahwa berbuka puasa dengan yang manis-manis merupakan anjuran langsung atau kebiasaan dari Nabi SAW yang dijadikan sebagai sunnah puasa jika tidak menemukan kurma untuk berbuka. Padahal tidaklah demikian dan hal tersebut bukanlah merupakan hadits Nabi SAW. Meskipun kita tidak menafikan kesunnahannya dimana tingkatan keutamaannya berada pada posisi setelah makanan/minuman yang tersebut dalam hadits Nabi SAW. Adapun makanan/minuman yang dianjurkan dengannya berbuka puasa sesuai dengan sabda Nabi SAW dapat diperhatikan dalam hadits Anas bin Malik r.a, beliau berkata,

ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮ ﻝُ ﺍﻟﻠِّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪً ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻔْﻄِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٌ ﻓَﻌَﻠَﻰ ﺗَﻤَﺮَﺍﺕٍ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢ ﺗَﻜُﻦْ ﺣَﺴَﺎ ﺣَﺴَﻮﺍﺕٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ

Rasulullah SAW biasanya berbuka dengan kurma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan kurma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air. (H.R. Abu Dawud dan Turmidzi, beliau menyatakan hadits ini hasan)

 

Dalam hadits lain disebutkan:

إذا كان أحدكم صائماً فليفطر على التمر، فإن لم يجد التمر فعلى الماء؛ فإنه طهور

Apabila salah seorang kamu berpuasa, maka berbukalah dengan kurma, jika tidak ada kurma, maka berbukalah dengan air. Sesungguhnya air itu suci. (Hadits riwayat sunan yang empat. Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih, Ibnu Hibban dan al-Hakim mengatakan, shahih)

 

Berdasarkan hadis tersebut kita mengetahui bahwa kebiasaan Rasulullah SAW dalam mengawali berbuka puasa, dengan kurma. Namun jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan air putih saja, bukan makanan/minuman yang manis-manis sebagaimana dipahami sebagian masyarakat kita selama ini. Urutan keutamaannya adalah ruthab (kurma basah), kemudian tamr (kurma kering) dan kemudian air putih. Para ulama dalam memahami hadits di atas, memandang kesunahan berbuka puasa dengan kurma yang terkandung sifat manis di dalamnya. Berdasarkan pemahaman ini, makanan/minuman yang manis-manis termasuk dalam katagori sunnah mengawali berbuka dengannya, akan tetapi karena ini tidak terdapat dalam hadits Nabi SAW dan hanya merupakan hasil ijtihad para ulama, maka urutan keutamaannya berada pada posisi setelah yang disebut dalam hadits, yaitu kurma dan air putih. Dalam I’anah al-Thalibin disebutkan,

والحاصل أن الأفضل أن يفطر بالرطب، ثم التمروفي معناه العجوة، ثم البسر، ثم الماء وكونه من ماء زمزم أولى، ثم الحلو وهو ما لم تمسه النار كالزبيب، واللبن، والعسل - واللبن أفضل من العسل، واللحم أفضل منهما، ثم الحلواء

Alhasil, sesungguhnya yang lebih utama adalah berbuka dengan ruthab (kurma basah), kemudian tamr (kurma kering). Yang semakna dengan tamr adalah kurma ajwa kemudian kurma muda. Setelah itu air putih, dimana air zamzam lebih utama dari air lainnya. Kemudian makanan/minuman yang manis-manis, yakni yang tidak sentuh api seperti anggur, susu dan madu. Susu lebih utama dari madu. Daging lebih utama dari keduanya. Setelah itu halwaa (makanan manis yang disentuh api). (I’anah al-Thalibin: II/278)

 

Setelah kurma, air putih lebih utama dari makanan/minuman lain, karena air putih ini bersama kurma ada disebut dalam hadits Nabi SAW sebagaimana dalam hadits di atas. Adapun selainnya merupakan hasil  ijtihad para ulama. Dalam Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj disebutkan,

وَقَوْلُهُ: فَمَاءٌ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ بَقِيَّةِ أَنْوَاعِ الْحَلْوَى كَالْعَسَلِ وَغَيْرِهِ لِوُرُودِ الْخَبَرِ فِيهِ.

Perkataan pengarang: maka air, yakni air itu lebih utama dari jenis makanan/minum yang manis-manis yang lain seperti madu dan lainnya, karena ada hadits terkait air. (Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj: II/328)

 

Sesuai dengan penjelasan di atas, penempatan posisi makanan/minuman yang manis-manis dalam urutan kedua setelah kurma adalah dha’if. Dalam Fathul Mu’in disebutkan:

قال الشيخان لا شيء افضل بعد التمر غير الماء فقول الروياني الحلو افضل من الماء ضعيف

Dua Syeikh (Imam al-Nawawi dan al-Rafi’i) mengatakan, tidak ada yang lebih utama setelah kurma selain air. Karena itu, pendapat al-Rauyani bahwa yang manis lebih utama dari air adalah pendapat yang dha’if. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in: II/278-279)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Minggu, 24 Maret 2024

Hal-hal yang dianggap sepele, tetapi membatalkan puasa

 

Kewajiban berpuasa bagi umat muslim termaktub di dalam firman Allah dalam Surat al-Baqarah Ayat 183 berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183).

 

Sebagaimana lazimnya sebuah ibadah, para ulama telah mengajarkan kita bahwa puasa tersebut mempunyai rukun dan syaratnya sehingga apabila tidak terpenuhi rukun dan syaratnya dapat mengakibatkan batal puasa. Dalam pembahasan kita kali ini adalah menyangkut hal-hal sepele yang membatalkan puasa. Hal-hal sepele di sini tidak dimaknai dengan makna ada yang membatalkan puasa sesuatu yang tidak dianggap penting. Karena semua yang membatalkan puasa cukup dianggap penting untuk dipahami oleh kita semua. Akan tetapi makna sepele di sini adalah hal-hal yang membatalkan puasa, namun sering dilupakan oleh sebagian umat Islam awam, sementara hal tersebut sering dilakukan pada saat melaksanakan ibadah puasa. Kenapa terlupakan?. Karena sebagian kita kadang-kadang menggunakan logika awam atau logika di luar disiplin ilmu fiqh dalam memahami hukum agama, sehingga melahirkan suatu pemahaman hukum yang keluar dari koridor ilmu fiqh.

Berikut ini hal-hal sepele yang membatalkan puasa, antara lain:

1.   Mengorek lobang telinga. Ini termasuk membatalkan puasa, karena termasuk dalam katagori memasukkan sesuatu benda dalam rongga terbuka.  Firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Makan dan minumlah kamu sehingga sampai kelihatan benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar. (Q.S. al-Baqarah: 187)

 

Substansi dari kandungan ayat ini adalah larangan memasukkan sesuatu dalam rongga terbuka pada saat berpuasa, meskipun bukan dengan cara  makan atau minum. Kesimpulan ini didukung oleh sabda Nabi SAW:

وبَالغْ فِي الاسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أنْ تكونَ صَائِمًا

Lakukanlah istinsyaq (memasukkan air dalam hidung pada waktu berwudhu’) secara berlebihan kecuali kamu dalam keadaan berpuasa.(Hadits shahih riwayat imam-iman hadits, al-Turmidzi mengatakan hadits hasan shahih dan al-Hakim mengatakan, hadits shahih)

 

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW melarang istinsyaq secara berlebihan seseorang yang sedang berpuasa karena dikuatirkan dapat masuk air dalam dalam hidung. Hal itu karena dapat membatalkan puasa. Rongga-rongga terbuka lainnya seperti telinga sama hukumnya dengan hidung. Apakah yang masuk dalam rongga terbuka tersebut haruslah suatu benda yang dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan kita?. Jawabannya, tidak mesti makanan. Dalam hal ini, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan:

و ان كانت اقل ما يدرك من نحو حجر

Meskipun itu sekecil-kecil benda yang dapat dilihat semisal batu. (Tuhfah al-Muhtaj:III/400)

 

2.   Masuk air dalam lobang bagian terdalam hidung tanpa sengaja pada saat melakukan istinsyaq secara berlebihan sebagaimana dipahami dari hadits di atas.

3.   Masuk air dalam lobang telinga terdalam tanpa sengaja pada saat mandi yang bukan perintah syariat seperti mandi sekedar mendinginkan tubuh meskipun mandinya bukan dengan cara menyelam. Demikan juga pada saat mandi wajib yang dilakukan dengan cara menyelam. Karena makruh hukumnya menyelam pada saat puasa. Abubakar Syatha menyimpulkan hukum kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dengan perkataan beliau berikut ini :

)والحاصل) أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به ولو مندوبا لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الأول: يفطر مطلقا بالغ أو لا وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء لكراهته للصائم وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر

Alhasil, sesungguhnya aturannya menurut para ulama, kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dimana memasukkan air tersebut bukanlah merupakan perintah syariat membatalkan puasa atau merupakan perintah meskipun perintah tersebut hanya sunnah, maka tidak membatalkan puasa. Berdasarkan qaidah ini dipahami tiga pembagian, Pertama, membatalkan secara mutlaq, baik dengan mubalaghah (berlebihan) atau tidak. Ini berlaku pada kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga pada bukan perintah seperti mandi kali ke-empat dan seperti menyelam dalam air karena makruh bagi orang puasa atau seperti mandi untuk menyegarkan tubuh ataupun membersihkn tubuh. Kedua, membatalkan puasa, jika dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku apabila kemasukan air tanpa sengaja pada seperti berkumur-berkumur yang diperintahkan pada wudhu’. Ketiga, tidak membatalkan secara mutlaq, meskipun dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku pada saat membasuh mulut yang bernajis, karena wajib atas orang puasa dan yang tidak puasa mubalaghah membasuh najisnya agar terbasuh semua yang ada pada batasan dhahir mulut. (I’anah al-Thalibin: II/265)

 

4.   Muntah dengan sengaja

Sabda Nabi SAW:

من ذرَعه القيء فليس عليه قضاء ، ومن استقاء عمداً فَلْيَقض

Barangsiapa terpaksa muntah tidaklah wajib mengqadha puasanya dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka hendaklah dia mengqadha puasanya. (Hadits hasan riwayat al-Darimy, Sunan yang empat dan Ibnu Hibban)

 

Adapun yang tidak membatalkan puasa, antara lain:

1.   Memakai obat tetes mata pada saat puasa.  Dalam Minhaj al-Thalibin berserta syarahnya al-Mahalli disebutkan :

)وَلَا) ‌يَضُرُّ (‌الِاكْتِحَالُ وَإِنْ وَجَدَ طَعْمَهُ) أَيْ الْكُحْلِ (بِحَلْقِهِ) لِأَنَّهُ لَا مَنْفَذَ مِنْ الْعَيْنِ إلَى الْحَلْقِ وَالْوَاصِلِ إلَيْهِ مِنْ الْمَسَامِّ

Dan tidak bermasalah memakai celak mata, meskipun ditemukan rasa celak di tenggorokannya, karena tidak ada rongga penghubung dari mata ke tenggorokan. Yang sampai di tenggorokan adalah dari pori-pori (Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarh al-Mahalli: II/72)

Menggunakan obat tetes mata dapat disamakan dengan menggunakan celak mata. Karena rasanya seandainya masuk ke tenggorokan, maka itu melalui pori-pori, bukan melalui rongga penghubung antara mata dan tenggorokan.

2.   memasukkan sesuatu dalam bukan rongga terbuka seperti memasukkan obat cair melalui suntikan.

3.   Berpuasa dalam keadaan berjunub. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan:

قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يدركه الفجر في رمضان وهو جنب من غيرحلم فيغتسل ويصوم

Rasulullah SAW pernah mendapati fajar pada bulan Ramadhan, sedangkan beliau dalam keadaan berjunub bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan kemudian melaksanakan puasa.(H.R. Muslim)

Wallahua’lam bisshawab